Jakarta, CNN Indonesia —
Program suntik mati TV analog (analog switch off/ASO) tetap digelar pada 2 November meski tak serentak di semua daerah. Sementara, UU Cipta Kerja memerintahkan sebaliknya. Apakah ini bentuk pelanggaran hukum?
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan 222 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia akan menggelar ASO sesuai tenggat, yakni 2 November 2022.
“Dari 514 kabupaten kota di Indonesia yang akan dilakukan analog switch off saat ini pada 2 November, yaitu 8 kota dan kabupaten di 4 wilayah siaran telah dilaksanakan analog switch off pada bulan April yang lalu,” ujar Plate, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jakarta Pusat, Senin (24/10).
“Jabodetabek yang terdiri dari sembilan kabupaten dan kota akan dilaksanakan analog switch off pada bulan November 2022, dan 173 kabupaten/kota non terseterial service atau tidak ada layanan tv teresterial,” lanjutnya.
“Dengan demikian ada 222 kabupaten kota yang total analog switch off,” imbuhnya.
Dalam kesempatan ini, Plate juga menjelaskan masih ada 292 kota dan kabupaten yang belum bisa melaksanakan ASO pada 2 November “sesuai kesiapan-kesiapan wilayah”.
Ketentuan ASO itu sendiri merupakan perintah di UU Cipta Kerja. Pasal 60A mengungkapkan:
(1) Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
(2) Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
Sementara, UU Ciptaker diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 November 2O2O. Artinya, 2 November tahun ini merupakan batas akhir penghentian siaran analog di RI.
Peneliti dari lembaga pemantau media Remotivi Muhamad Heychael mengatakan hal ini merupakan pelanggaran terhadap perundangan.
“Ya jelas melanggar, saya tidak tahu persis sanksi seperti apa yang ada dalam sistem hukum kita,” ucapnya, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (24/10).
Ia menilai hal itu merupakan efek lanjutan dari perencanaan kebijakan yang tak matang, termasuk dalam hal teknis dan kebutuhan daerah.
“Saya duga karena perencanaan yang tidak matang. Pemerintah tidak memikirkan aspek teknis dan kebutuhan lokal. Ini akibat dari rencana yang dibuat topdown,” ujarnya.
“Hal ini antara lain bisa dilihat dari muncul gugatan Lombok TV pada ke Mahkamah Agung terkait biaya sewa televisi digital,” imbuh dia, menyinggung gugatan uji materi terhadap aturan sewa siaran.
Menurut Heychael, “fokus pertanyaan kita mestinya diarahkan pada PP 46 tahun 2011 yang menjadi aturan turunan dari UU cipta kerja mengenai digitalisasi siaran.”
“Di sinilah terletak banyak masalah. Termasuk soal sewa dan penentuan model multimux dalam pelaksanaan siaran digital,” sambung dia, yang merupakan pengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) itu.
Selain itu, Heychael mengatakan PP 46/2011 itu, yang merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, malah memperkuat konglomerasi.
“Pada prinsipnya PP tersebut melegitimasi sistem multimux. Ia menjadikan proses digitalisasi yang semestinya jadi jalan bagi pemecahan konsentrasi kepemilikan media siaran justru memperkuatnya,” cetus dia.
“Sistem multimux ini menjadi infrastruktur penyiaran dikuasai konglomerat dan meminggirkan pengusaha televisi lokal,” kata Heychael.
Respons Kominfo di halaman berikutnya…
Tetap ASO tapi Simulcast
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: www.cnnindonesia.com