Jakarta, CNN Indonesia —
Kasus pengancaman terhadap Muhammadiyah yang menjerat peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin turut menyeret TD, pengunggah tulisan soal penentuan hari lebaran.
Hal ini diungkap terkait paparan soal Sidang Hukuman Disiplin terhadap Andi. Dia sempat melontarkan ancaman pembunuhan dalam hal perbedaan metode penetapan hari lebaran di media sosial.
Sekretaris Utama BRIN Nur Tri Aries Suestiningtyas mengungkap TD sudah diproses dalam Sidang Majelis Kode Etika dan Kode Perilaku pada Selasa (2/5) pukul 14.00 sampai 19.00 WIB.
“Dari hasil klarifikasi pada sidang tersebut diperoleh informasi terkait konteks tulisan yang ramai diperbincangkan,” ungkapnya, dikutip dari siaran pers BRIN.
Ia sendiri tak memaparkan nama lengkap inisial TD maupun posisi dan jabatannya. Namun, komentar Andi itu sendiri bermula dari unggahan Facebook Thomas Djamaluddin, peneliti senior BRIN yang merupakan mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
“Ya. Sudah tidak taat keputusan pemerintah, eh masih minta difasilitasi tempat shalat ied. Pemerintah pun memberikan fasilitas,” unggah Thomas, beberapa waktu lalu.
Unggahan itu dilontarkan merespons pertanyaan dari akun Alflahal Mufadilah.
“Akhirnya, hanya tanya, kurang bijaksana apa pemerintah kita? Di tengah perbedaan yg melanda, sebab seglintir umat Islam yang teguh berbeda, pemerintah jua masih menyeru semua bertenggang rasa,” ujar Alflahal.
Ucapan Thomas di atas ditimpali sejumlah pihak yang kemudian berujung komentar provokatif Andi.
“Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,” cetus Andi Pangerang.
Unggahan ini kemudian viral dan menuai kritik keras dari pihak Muhammadiyah. Polisi pun menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka pelanggaran UU ITE. Sementara, BRIN menyidangkannya di kasus etik dan disiplin.
Penelitian multidisiplin
Nur melanjutkan unggahan TD itu bisa dipahami berbeda menjadi lebih luas walaupun konteks dari kalimat tersebut terkait penentuan Hari Raya Idul Fitri.
“Atas hal tersebut yang bersangkutan (TD) mengakui telah lalai bahwa di ranah publik diskusi tidak dapat menggunakan bahasa-bahasa yang dibatasi konteks maupun pilihan kata yang dianggap sudah biasa pada komunitasnya, namun tidak biasa untuk konsumsi umum,” jelas dia.
Menurutnya, selama ini diskusi panas sudah sering terjadi di laman media sosial TD.
“Khususnya terkait penentuan hari raya umat islam, menurut yang bersangkutan merasa perlu untuk melakukan edukasidan diseminasiterkait hasil penelitiannya dan sebagai anggota dari tim hisab/rukyat Kemenag sejak 1996,” lanjut dia.
“Namun yang bersangkutan juga menyadari kasus ini sebagai pembelajaran penting ke depannya bahwa diskusi ilmiah ketika dilakukan pada ranah publik dapat menimbulkan banyak kesalahpahaman,” sambungnya, tanpa merinci ada atau tidaknya sanksi untuk TD.
Nur mengungkapkan kasus ini bisa jadi pembelajaran dan titik awal penting bagi BRIN, sebagai institusi yang menaungi para periset di tanah air, “untuk menginisiasi penelitian bersama secara multidisiplin tidak hanya dari ilmu Astronomi, namun juga ilmu sosial-humaniora dan ilmu agama, serta budaya, guna mendapatkan solusi permasalahan secara ilmiah.”
“BRIN memiliki seluruh komponen untuk melakukan riset secara komprehensif, dari berbagai sisi karena hampir seluruh kepakaran periset saat ini sudah bergabung menjadi periset BRIN,” pungkasnya.
(can/arh)
Sumber: www.cnnindonesia.com