Jakarta, CNN Indonesia —
Studi mengungkap risiko depresi atau gangguan mental bisa meningkat jika seseorang terpapar polusi udara dalam jangka panjang.
Hal ini perlu diantisipasi sejumlah warga Jakarta maupun kota padat penduduk lainnya di Indonesia.
Berdasarkan situs IQAir, Jakarta beberapa kali meraih jawara Indeks kualitas udara (Air Quality Index/ AQI) terburuk dunia. Pada Rabu (22/6/2022), DKI menjadi yang terburuk di dunia dengan skor 163 alias tidak sehat. Di bawahnya, ada Beijing (159) dan Dhaka (157).
“Konsentrasi PM 2.5 di udara Jakarta saat ini 15.8 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO,” dikutip dari situs tersebut.
Pengukuran kualitas udara situs ini dilakukan dengan mengacu pada angka PM 2.5, yang merupakan polutan berbentuk debu, jelaga, asap berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron.
Kualitas ydara di Jakarta juga pernah menjadi yang terburuk di dunia pada Rabu (15/6/2022) pukul 09.50 WIB. Saat itu, Indeks kualitas udaranya mencapai 183 US AQI dengan PM 2.5 sebesar 118 µg/m³ dan PM 10 sebesar 20,6 µg/m³.
Per hari ini, Senin (20/2) pukul 05.51 WIB, kualitas udara Jakarta masih berkategori ‘moderate’ dengan skor 57. Meski demikian, itu sudah tiga kali lipat dari nilai standar kualitas udara WHO.
Ada dua studi yang mengungkapkan efek buruk polusi terhadap mental tersebut. Studi pertama berjudul Association of Long-term Exposure to Air Pollution With Late-Life Depression in Older Adults in the US.
Studi kedua berjudul Long-term Exposure to Multiple Ambient Air Pollutants and Association With Incident Depression and Anxiety. Kedua studi ini dipublikasikan di JAMA Network.
Mengutip ScienceAlert, pada studi pertama, pakar dari Harvard dan Emory University memeriksa data dari hampir sembilan juta lansia. Data tersebut diperoleh dari Medicare, asuransi kesehatan pemerintah AS untuk lansia berusia 64 tahun ke atas.
Dari studi ini, para pakar menemukan 1,52 juta lansia didiagnosa mengalami depresi selama periode studi dari 2005 hingga 2016.
“Kami menemukan secara statistik dan signifikan jumlah asosiasi antara paparan polusi udara dalam jangka waktu yang lama, terhadap peningkatan risiko depresi,” tulis para pakar.
Lebih lanjut, risiko depresi bisa meningkat jika lansia itu berasal dari “golongan yang tidak mampu secara sosial ekonomi”.
“Mereka secara simultan terekspos tekanan sosial dan kondisi lingkungan yang menyedihkan termasuk polusi udara,” tulis para pakar.
Untuk keperluan studi ini, para pakar memetakan level polusi dan membandingkannya terhadap alamat dari para pasien Medicare.
Polutan yang mengenai para lansia antara lain debu, asap, nitrogen dioksida dari emisi kendaraan, dan ozon yang dihasilkan dari mobil, pembangkit listrik, dan kilang minyak.
Masih menurut studi yang sama, para pakar menilai lansia lebih berisiko terhadap depresi karena polusi karena paru-paru dan sarafnya yang rentan.
“Meskipun depresi tidak lazim ditemukan di kalangan orang dewasa yang lebih tua dibandingkan yang muda, ada konsekuensi serius yakni gangguan kognitif, penyakit fisik penyerta, dan kematian,” tulis para pakar.
Cemas dan depresi
Sementara itu pada studi lainnya, para pakar di Britania Raya dan China memeriksa asosiasi antara beragam paparan polusi udara dengan kejadian depresi dan kecemasan.
Mereka mempelajari hampir 390 ribu orang yang kebanyakan tinggal di Britania Raya selama 11 tahun. Para pakar menemukan peningkatan risiko depresi dan kekhawatiran pada mereka yang terpapar polusi di bawah level kualitas standar udara Britania Raya.
“Hasil studi menunjukkan bahwa perkiraan paparan jangka panjang terhadap berbagai polutan udara dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi dan kecemasan,” tulis para pakar.
“Asosiasi non-linier mungkin memiliki implikasi penting untuk pembuatan kebijakan dalam pengendalian polusi udara. Pengurangan paparan bersama terhadap berbagai polutan udara dapat meringankan beban penyakit depresi dan kecemasan,” lanjut para pakar.
(lth)
[Gambas:Video CNN]
Sumber: www.cnnindonesia.com