Jakarta, CNN Indonesia —
Gempa Turki dengan magnitudo 7,8 yang terjadi pada Senin (6/2) disebut telah diramalkan oleh Frank Hoogerbeets. Siapa dia sebenarnya?
Sebelum gempa terjadi, Hoogerbeets berkicau soal prediksi gempa berkekuatan magnitudo 7,5 di Turki, Yordania, dan Lebanon pada Jumat (3/2). “Cepat atau lambat akan ada ~M 7.5 #gempa bumi di wilayah ini (Turki Selatan-Tengah, Yordania, Suriah, Lebanon),” kicaunya.
My heart goes out to everyone affected by the major earthquake in Central Turkey.
As I stated earlier, sooner or later this would happen in this region, similar to the years 115 and 526. These earthquakes are always preceded by critical planetary geometry, as we had on 4-5 Feb.
— Frank Hoogerbeets (@hogrbe) February 6, 2023
Pada Senin (6/2), gempa dengan magnitudo 7,8 lalu mengguncang Turki dan Suriah. Hoogerbeets pun menyebut peristiwa itu sesuai dengan prediksinya.
Tak berhenti sampai di situ, Hoogerbeets mengaitkan gempa Turki dengan tata letak planet di luar angkasa.
“Hati saya berduka pada semua orang yang terkena dampak gempa bumi besar di Turki Tengah. Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, cepat atau lambat ini akan terjadi di wilayah ini, mirip dengan tahun 115 dan 526. Gempa bumi ini selalu didahului oleh geometri planet yang kritis, seperti yang kita alami pada 4-5 Februari,” ujarnya.
Unggahan itu pun dibantah oleh Martijn van den Ende, ahli seismologi dari Université Côte d’Azur, Prancis, di kolom komentar.
“Setiap orang yang membaca ‘prediksi’ ini, tolong jangan tertipu. Gempa bumi tidak dipicu oleh tata letak planet, dan tidak ada metode ilmiah untuk memprediksi gempa bumi,” kicau dia, Senin (6/2).
Everyone reading this “prediction”, please do not fall for it. Earthquakes are not triggered by planetary alignments, and there is no scientific method of predicting earthquakes. Please consult a real seismologist if you have questions.
— Martijn van den Ende (@martijnende) February 6, 2023
Mengutip Open Sky News, Hoogerbeets merupakan periset asal Belanda yang bekerja di Solar System Geometry Survey (SSGEOS). Namun demikian, tak banyak informasi tambahan soal latar belakang Hoogerbeets.
Di sisi lain, SSGEOS mengklaim sebagai institut yang bekerja memonitor geometri antara benda-benda luar angkasa dan Bumi. Mereka lalu mengaitkannya dengan aktivitas seismik seperti gempa Bumi.
SSGEOS sendiri beberapa kali membuat klaim serupa sebelum gempa Turki terjadi. Mereka mengklaim menemukan petunjuk pertama geometri atau pola tertentu di Tata Surya dapat memicu gempa bumi besar pada insiden 23 Juni 2014.
Saat itu, tiga gempa berkekuatan Magnitudo 6 di selatan Pasifik, diikuti oleh tiga gempa lagi di utara Pasifik yang puncaknya berkekuatan M 7,9, yang semuanya terjadi dalam beberapa jam.
“Dengan menggunakan perangkat lunak simulasi Tata Surya, tampak sekitar tanggal 23 Juni 2014 enam benda langit terlibat dalam konjungsi planet yang menyatu menjadi segitiga dekat,” klaim SSGEOS.
SSGEOS mengklaim ada dua geometri yang berkaitan antara benda luar angkasa dan gempa bumi yang besar. Pertama adalah geometri planet kritis (critical planetary geometry) dan geometri Bulan kritis (critical lunar geometry) jika Bulan terlibat dalam konjungsi planet.
Menurut SSGEOS, geometri kritis tidak selalu menghasilkan gempa yang besar. “Terkadang, hanya beberapa aktivitas seismik yang meningkat hingga magnitud 6,0” tulisnya.
Dibantah Pakar
Meski terkesan ilmiah, teori Hoogerbeets dan SSGOS-nya dibantah para pakar.
Mantan Kepala Bahaya dan Arsip Kegempaan d British Geological Survey, Roger Musson mengatakan, kicauan Hoogerbeets soal “cepat atau lambat” tak termasuk prediksi.
“Sebuah prediksi harus menyatakan waktu, tempat, dan besarnya. ‘Cepat atau lambat’ bukan merupakan [keterangan] waktu. Jadi dia tidak memprediksi gempa,” ucapnya, yang punya pengalaman lebih dari 35 tahun di bidang seismologi itu, dikutip dari Newsweek.
Senada, David Rothery, Profesor Planetary Geosciences di Open University, mengatakan tak ada nilai prediksi dari kicauan Hoogerbeets itu.
“Saya dapat mengatakan bahwa ‘cepat atau lambat’ akan ada gempa M 7 di setengah patahan Anatolia Timur yang tidak bergerak hari ini. Saya benar, tetapi itu tidak ada nilainya sebagai prediksi,” cetusnya.
Lebih lanjut, Rothery juga mengatakan, perubahan posisi planet terhadap Bumi punya pengaruh yang sangat kecil. Menurut Rothery, Bulan justru lebih berpengaruh terhadap gaya pasang surut di dalam Bumi dan lebih mungkin menjadi “pemicu langsung gempa bumi”.
Meski terkesan tepat memprediksi gempa Turki, banyak prediksi Hoogerbeets dan SSGEOS yang ternyata tak terbukti. Ia antara lain pernah membuat ramalan serupa tentang gempa besar berkekuatan di atas Magnitudo 8 pada akhir Desember 2018.
Gempa terkuat hadir di Filipina dengan magnitudo 7,0 pada 29 Desember, jauh dari skala yang diprediksi.
Selain itu, para pakar sepakat bahwa belum ada teknologi yang sanggup memprediksi gempa Bumi. Ilan Kelman, profesor di UCL Institute for Risk and Disaster Reduction mengungkapkan, para pakar saat ini hanya dapat memetakan garis patahan dan bukan gempa.
“Karena kami telah melakukannya dengan baik dalam memetakan garis patahan, tetapi tidak [bisa prediksi] kapan [itu terjadi], terutama tidak [saat] jauh sebelumnya,” ujar dia.
(lth/lth)
Sumber: www.cnnindonesia.com