Jakarta, CNN Indonesia —
Peneliti astronomi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin viral usai komentarnya di Facebook yang bernada ancaman terhadap warga Muhammadiyah. Simak profilnya di sini.
Via laman Facebook, Andi mengomentari unggahan rekan sejawat peneliti BRIN Thomas Djamaluddin soal penetapan Lebaran 2023 oleh Muhammadiyah.
Sebelumnya, Muhammadiyah jauh-jauh hari menetapkan lebaran 2023 pada 21 April lewat metode hisab atau wujudul hilal. Sementara, Pemerintah baru menetapkan Idulfitri 2023 lewat sidang isbat, Kamis (20/4), via pemantauan hilal atau imkan rukyat.
“Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,” tulis Andi menggunakan nama akun Facebook AP Hasanuddin.
Komentarnya ini menuai reaksi keras dari warga Muhammadiyah. BRIN pun bakal memanggilnya ke Majelis Etik. Andi pun meminta maaf kepada warga Muhammadiyah.
Siapa sosok ini?
Mengutip dari laman resmi BRIN, Andi Pangerang Hasanuddin merupakan civitas BRIN dengan jabatan Peneliti Ahli Pratama. Dia lulusan S1 Teknik Elektro dan tergabung dalam satuan kerja Pusat Riset Antariksa.
Pria yang karib disapa Andi ini memang seorang ‘pemuja langit’. Kecintaannya akan langit muncul sejak kecil. Dia suka memperhatikan langit senja, langit fajar, juga menikmati gerhana menggunakan teropong bintang.
“Saat kecil ada salah satu acara di TVRI Build Night The Science Guy, saat itu membahas fisika dan astronomi. Ada juga acara Pesona Fisika yang menjelaskan juga soal antariksa,” ujar Andi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com pertengahan tahun lalu.
Rupanya ketertarikan ini makin mengerucut sewaktu SMA. Dia turut serta dalam olimpiade sains dan astronomi tingkat SMA se-Jawa Tengah mewakili sekolahnya, SMA 1 Semarang. Andi masuk dalam 10 besar kompetisi tersebut.
Hanya saja, dia tidak melanjutkan kuliah di jurusan yang berhubungan dengan antariksa. Andi mengambil S1 Teknik Elektro di Universitas Diponegoro pada 2009. Meski tidak terlalu ‘nyambung’, tapi minatnya akan astronomi tidak surut.
Astronom amatir
Andi tetap menghidupkan minatnya lewat komunitas astronomi. Berkat rasa ingin tahu, ketekunan belajar dan suntikan pengetahuan dari pembimbing, dia mampu menciptakan platform perhitungan arah kiblat, waktu salat, gerhana dan hisab awal bulan Hijriah.
“Saat itu saya mulai dikenal oleh kalangan astronom amatir di Indonesia pada 2014 di Semarang. Dibina langsung oleh Widya Sawitar,” ungkap dia.
Widya Sawitar adalah penceramah senior di Planetarium Jakarta. Pentolan astronom di Indonesia ini juga dijuluki ‘bapak’ komunitas astronomi amatir.
Kemudian lepas dari bangku kuliah, ia sempat mengajar di beberapa tempat bimbingan belajar (bimbel). Lagi-lagi, ia tetap berjodoh dengan astronomi sebab ada astrofisika sebagai bagian dari kurikulum internasional.
Baru pada 2018, ia menemukan ‘jiwanya’ saat bergabung dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) yang kini dilebur ke BRIN.
“Saya ingin memberikan ilmu astronomi ini kepada masyarakat agar bisa berfikir lebih ilmiah dan lebih saintifik,” ucap dia.
MABIMS
Menurutnya, salah satu kegunaan ilmu astronomi adalah penentuan hari besar Islam di Indonesia.
Sejak Orde Baru tumbang, ada perbedaan awal bulan Hijriyah antara Muhammadiyah dan pemerintah. Di masa Orde Baru, jabatan menteri agama banyak dipegang oleh kader Muhammadiyah.
Yakni, Menteri Agama Abdul Mukti Ali (Kabinet Pembangunan I, 1971-1973; Kabinet Pembangunan II, 1973-1978), Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988; Kabinet Pembangunan V 1988-1993), dan Tarmidzi Taher (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998).
Di masa reformasi, jabatan ini diisi kader Nahdlatul Ulama (NU) yang menganut kriteria penentuan awal bulan Hijriah sama dengan pemerintah.
Andi menyebut Thomas Djamaluddin, yang merupakan mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), sudah merumuskan kriteria hilal yang mulai disederhanakan memakai selisih ketinggian Bulan (hilal) 4 derajat dan elongasi (jarak Bulan-Matahari) minimal 6,4 derajat.
Hal ini pun disepakati Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), dengan penyesuaian .
Buat Andi, penentuan hari besar tidak perlu dibuat jadi polemik. Saat Indonesia sudah kompak dengan kriteria yang sama, metode ini bisa digunakan hingga ke tingkat global.
Dia menjelaskan keterlambatan hari raya memang alami terjadi. Kalau hilal terlihat lebih dulu di Arab Saudi, maka wilayah sebelah timur Saudi bakal paling lambat merayakan.
“Jadi sudah sesuai kodrat, kalau Bumi berputar dari barat ke timur, jadi semakin ke barat semakin besar hilalnya, semakin jauh dari Matahari sehingga kita bisa menentukan hari raya tanpa ada perbedaan baik itu tanggal atau penentuannya,” pungkas Andi.
(els/arh)
Sumber: www.cnnindonesia.com