Peta Anyar Semesta Buktikan Teori Einstein, Muat Materi Tak Kasat Mata

Peta terbaru hasil penelitian tim ACT mengonfirmasi teori Albert Einstein soal gravitasi, termasuk soal materi gelap tak kasat mata.

Jakarta, CNN Indonesia

Peta terbaru luar angkasa mengonfirmasi teori relativitas milik Albert Einstein. Apa keistimewaannya? 

Peta baru itu menggunakan cahaya CMB (cosmic microwave background) sebagai cahaya latar untuk membentuk siluet dari segala materi, termasuk materi gelap (dark matter), antara Bumi dan Big Bang atau Dentuman Besar.

Hasil kerja para ahli di Atacama Cosmology Telescope (ACT) itu diklaim paling detail memuat materi gelap yang tersebar di seperempat langit, membentang jauh ke dalam kosmos.

Hal ini pun disebut menegaskan teori Albert Einstein tentang bagaimana struktur yang masif (seperti bintang) tumbuh dan membelokkan cahaya selama 14 miliar tahun masa hidup alam semesta.

“Kami telah memetakan materi gelap tak kasat mata melintasi langit hingga jarak terjauh, dan dengan jelas melihat ciri-ciri dunia tak kasat mata ini yang lebarnya ratusan juta tahun cahaya,” kata Blake Sherwin, profesor kosmologi di University of Cambridge, dikutip dari ScienceDaily.

“Kelihatannya seperti prediksi teori kami,” lanjut dia.

Suzanne Staggs, Direktur ACT sekaligus profesor fisika di Princeton University, menggambarkan perbedaan detil peta materi gelap itu.

“Ini seperti membentuk blok siluet, tapi ketimbang cuma memiliki siluet hitam, Anda memiliki tekstur dan gumpalan material gelap, seolah-olah cahaya dialirkan lewat tirai kain yang punya banyak simpul dan tonjolan,” kata dia, dikutip dari situs Princeton University.

Keberadaan peta baru luar angkasa itu tercantum dalam makalah yang sedang diajukan ke Astrophysical Journal. Risetnya sendiri dibuat oleh para pakar dari ACT memanfaatkan cahaya yang berasal dari cosmic microwave background (CMB).

“Foto biru kuning CMB yang terkenal (dari 2003) merupakan cuplikan dari seperti apa wujud semesta dalam satu zaman sekitar 13 miliar tahun lalu. Sekarang, foto itu memberikan kita informasi tentang semua zaman sejak itu,” kata Suzanne menambahkan.

Materi gelap menyusun 85 persen Semesta dan memengaruhi evolusinya. Sayangnya, keberadaan materi ini sulit dideteksi karena ia tidak berinteraksi dengan cahaya atau bentuk lain radiasi elektromagnetik.

Sejauh yang diketahui, materi gelap hanya berinteraksi dengan gravitasi.

Untuk melacaknya, lebih dari 160 kolaborator yang telah membangun dan mengumpulkan data dari Teleskop ACT di Chile meneliti cahaya yang memancar dari kelahiran formasi Semesta atau Big Bang, ketika Semesta baru berusia 380 ribu tahun.

Para ahli kosmologi pun sering menyebut cahaya ini sebagai “foto Semesta saat masih bayi”. Namun secara formal, cahaya itulah yang disebut dengan radiasi cosmic microwave background (CMB).

Tim peneliti lalu melacak cara tarikan gravitasi dari struktur yang besar dan berat termasuk material gelap membelokkan CMB dalam perjalanannya selama 14 miliar tahun ke Bumi. Analoginya seperti saat kaca pembesar membelokkan cahaya ketika melewati lensanya.

“Kami telah membuat peta massa baru menggunakan distorsi cahaya yang tersisa dari Big Bang,” kata Mathew Madhavacheril, asisten profesor di Departemen Fisika dan Astronomi di University of Pennsylvania.

“Hebatnya, peta ini menyediakan pengukuran yang menunjukkan bahwa baik ‘gumpalan’ Semesta dan tingkat pertumbuhannya setelah 14 miliar tahun evolusi, sesuai dengan model standar kosmologi yang didasarkan kepada teori gravitasi Albert Einstein,” katanya menambahkan.

Selain mengonfirmasi teori Einstein, para pakar juga mengklaim risetnya menyediakan hal baru tentang debat mengenai “Krisis di Kosmologi”.

Krisis tersebut berasal dari pengukuran terbaru yang menggunakan cahaya latar berbeda, yang berasal dari bintang-bintang di galaksi daripada CMB.

Metode tersebut menyiratkan, material gelap tidak cukup menonjol di bawah model standar kosmologi sehingga menimbulkan keresahan bahwa model tersebut bisa saja salah.

Namun demikian, hasil penelitian tim ACT dengan tepat menyatakan hal berbeda.

“Sementara studi sebelumnya menunjukkan celah dalam model kosmologis standar, temuan kami memberikan jaminan baru bahwa teori dasar alam semesta kita benar,” kata Frank Qu, seorang mahasiswa pascasarjana Cambridge serta mantan peneliti tamu di Princeton.

(lth)






Sumber: www.cnnindonesia.com