Peneliti geodesi dan geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas meminta menghentikan politisasi banjir di DKI Jakarta. Pasalnya, yang penting adalah membenahi masalah serapan air.
Hal ini tak lepas dari ‘drama’ saling klaim penanganan banjir DKI dari dua pihak yang berseberangan. Anies pernah mengatakan banjir di Jakarta cepat surut dibandingkan zaman Ahok.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lantas mengatakan banjir tiba-tiba datang setelah Anies didukung sebagai calon presiden (capres). Merespons hal itu, Partai Nasdem yang mendukung Anies tak kalah sigap membelanya.
“Pernyataan-pernyataan ini begitu gamblang dan mudah dicerna oleh banyak orang bahkan orang awam sekali pun bahwa banjir Jakarta dijadikan bahan politik. Dengan kata lain telah terjadi politisasi banjir Jakarta,” kata Heri lewat keterangan tertulis, Senin (17/10).
Ia menuturkan upaya penyediaan daya tampung air sudah dilaksanakan “secara bertahap dan berkesinambungan” sejak zaman Gubernur DKI Fauzi Bowo, Basuki T. Purnama, hingga Anies.
“Tercatat bahkan di zaman Ahok upayanya dilakukan dengan cukup progresif. Jadi ketika banjir saat ini semisal cepat surut, ini artinya ada kontribusi dari semua Gubernur. Jika serta merta hanya seolah peran dari Anies semata, sejatinya akan terlalu naif dan kental sekali nuansa politiknya,” tutur dia.
“Pernyataan Hasto (pencapresan Anies bikin banjir) tidak lebih baik dari cocoklogi dan tidak perlu dikomentari oleh NasDem. Bahkan bagi para ahli banjir melihat hal tersebut bisa jadi hanya guyonan Hasto semata,” tambah dia.
Heri pun menilai tak elok pula menyalahkan curah hujan, yang merupakan sesuatu yang ‘given’, sebagai pemicu banjir.
“Akan lebih elok jika Kita tidak gampang menyalahkan curah hujan atau tidak playing victim dengan mengatakan curah hujan di luar kendali Kita. Memang Kita bukan avatar pengendali air,” urainya.
Kepala Laboratorium Geodesi ITB itu pun berharap “politisasi banjir di Jakarta berhenti setelah lengsernya Anies”. Harapan ini demi terwujudnya upaya penanganan banjir yang lebih maksimal lagi.
“Jika terus menerus banjir dipolitisasi maka dipastikan banjir akan selalu menghiasi Kota Jakarta,” ucapnya.
Apa solusinya?
Heri menuturkan, “mengkaitkan banjir dengan politik sebenarnya bagaikan api jauh dari panggang dan sejatinya tidak boleh ada politisasi banjir yang malah dapat mengganggu upaya-upaya penanganan banjir itu sendiri.”
Menurut dia, yang merupakan Kepala Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB itu, urusan banjir lebih ke masalah teknis “dimana terjadi gangguan kesetimbangan dari siklus air”.
“Infiltrasi yang tidak seimbang dengan run off (pengeringan) dan daya tampung air, itu yang menyebabkan banjir hadir. Supaya tidak banjir sederhananya tinggal bagaimana Kita memaksimalkan infiltrasi atau daya tampung air atau keduanya. Infiltrasi dan daya tampung tidak perlu politik,” ucap Heri.
Ia mengatakan dalam beberapa tahun terakhir di Jakarta tidak terdapat upaya signifikan dalam optimalisasi daya tampung air.
Infografis Beda Naturalisasi dan Normalisasi Sungai. (Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian)
|
“Normalisasi sungai terhenti demi janji politik, naturalisasi hanya sekedar rencana belaka. Upaya optimalisasi infiltrasi melalui program biopori tidak efektif Karena bawah tanah Jakarta telah jenuh air,” katanya.
Heri pun memperbaiki daya tampung air, Heri menyarankan normalisasi sungai dan waduk, seperti yang dilakukan sejumlah kota besar dunia. Jangka panjangnya adalah restorasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Dengan kondisi saat ini dimana Jakarta yang merupakan hutan beton dan di Hulu nya sudah menjadi kebun Vila, maka upaya jangka pendek untuk mengatasi banjir mau tidak mau, suka tidak suka harus berfokus kepada optimalisasi daya tampung air seperti normalisasi sungai, waduk dan lain-lain,” urainya.
“Untuk jangka panjang, secara perlahan baru Kita terus upayakan restorasi Daerah Aliran Sungai,” imbuhnya.
(can/arh)
[Gambas:Video CNN]
Sumber: www.cnnindonesia.com