Membaca Krisis Iklim Indonesia dari Segelas Es Teh Manis

Merebaknya penjual es teh di Solo dan sekitarnya sesungguhnya jadi salah satu pertanda bahwa Indonesia pun sudah di ambang krisis iklim.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia

Ada yang agak berbeda dari Solo dan sekitarnya termasuk Boyolali, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar periode mudik tahun ini. Nyaris di tiap titik yang kami lewati, berdiri lapak sederhana tempat penjual es teh.

Variannya cuma dua, es teh manis (yang di Solo benar-benar nampol sedapnya dan bukan sekadar cairan warna coklat dengan aroma teh sebagai asesoris belaka) serta es teh kampul yakni es teh manis yang diberi irisan jeruk nipis.

Tanpa perlu sidang penetapan dan kesepakatan ormas, segelas plastik ukuran besar harganya hampir seragam di semua penjual: Rp3.000 dan Rp3.500 untuk masing-masing varian.

Cuaca yang panasnya banyak bikin orang istighfar ini rupanya ditangkap sebagai peluang di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum pulih sepenuhnya setelah pandemi. Media lokal menyebut ledakan lapak es teh ini sebagai “peluang bisnis kuliner paling menjanjikan saat ini” untuk Solo dan sekitarnya.

Pemilik satu lapak bisa dapat untung bersih ratusan ribu hingga Rp1 juta rupiah dalam sehari, menggiurkan. Pembeli senang, penjualnya apa lagi.

Yang tak banyak dibahas adalah ledakan warung es teh ini sebenarnya refleksi dari ancaman nyata perubahan iklim. Indonesia mencatat suhu tertinggi 37 derajat celsius lebih di Tangerang pada bulan April. Meski tidak mematikan untuk sebagian besar populasi, suhu ini sudah 10 derajat lebih tinggi dari suhu ‘standar’ yang dikenalkan pada anak saat mempelajari ilmu pengetahuan alam di sekolah antara 27-28 derajat celsius.

Yang juga banyak luput dari pantauan publik, terutama karena saat itu fokus pada isu mudik dan wisata Lebaran, adalah bagaimana gelombang panas menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Di China, suhu di beberapa titik termasuk sebagian Beijing mencapai 42 derajat. Di sebagian Myanmar suhunya sampai setinggi 44 derajat, sama seperti di negara bagian Odisha di India. Sedikitnya 13 orang meninggal berkait dengan suhu yang luar biasa panasnya ini di negara bagian Maharsthra. Sekolah ditutup dan diliburkan karena kegiatan belajar tidak bisa dilangsungkan dengan normal di tengah cuaca yang terlalu panas.

Di Bangladesh malahan suhu mencapai lebih dari 51 derajat selsius.

Suhu di atas 39 derajat menurut peneliti iklim di Harvard dan Washington University masuk kategori berbahaya (dangerous heat) untuk makhluk hidup, sementara suhu di atas 50 derajat dianggap melewati kemampuan makhluk untuk bertahan (push the limit to survivability).

Tahun lalu penelitian ilmuwan iklim memberi prediksi seram: akhir abad ini wilayah Timur Tengah mungkin sudah sulit dihuni karena perpaduan suhu sangat tinggi dan kelembaban luar biasa yang sulit diadaptasi oleh tubuh manusia. Agustus tahun lalu suhu tertinggi di Timur Tengah tercatat di kota Abadan di Iran setinggi 53 derajat selsius.

Korban jiwa berjatuhan bahkan di negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang pada serangan gelombang panas tahun 2022 mengalami titik terparah.

Menurut Lembaga Perlindungan Lingkungan AS, kematian terkait serangan suhu panas bisa mencapai 1.300 jiwa dalam setahun, sementara akibat serangan panas tahun 2022 ada angka kelebihan kematian (excess death) sebanyak lebih 650 jiwa di Inggris.

Bagaimana Indonesia?

Lalu berapa banyak di antara kita menganggap isu panas ini sebagai hal serius yang perlu dimitigasi dampaknya?

Di Negara Teluk, serangan suhu panas direspons dengan penyiapan pasokan listrik dalam jumlah besar sebagai sarana menghidupkan sistem pendingin udara dalam dan luar ruang.

Di Eropa, kota besar di Jerman, Spanyol, dan Prancis berlomba menemukan disain hijau paling pas untuk mencegah suhu naik terlalu tinggi sekaligus menghemat konsumsi energi yang sangat mahal terutama setelah Perang Ukraina.

Meski di Tanah Air dampaknya jauh lebih mending (mild) dibanding beberapa negara Asia lain, riset membuktikan bahwa frekuensi cuaca ekstrem dan naiknya suhu udara secara drastik akan makin sering terjadi, bahkan bisa 30 kali lebih banyak.

Pertanyaan seperti: apa yang terjadi dan perlu kita lakukan ketika suhu meroket –misalnya sampai 45 derajat celsius atau malah sampai 51 derajat seperti Bangladesh– belum dibahas pemerintah.

Lalu bagaimana kita menyiapkan diri? Bagaimana kakek-nenek dan anak-anak disiapkan menghadapi krisis seperti ini? Juga, dalam suhu semacam itu, bagaimana kita menghadapi ancaman kekeringan dan gagal panen? Bagaimana pula dengan ancaman kebakaran lahan/hutan gambut dan bagaimana pemadamannya?

Waktu ditanya seberapa khawatir dirinya terhadap upaya Indonesia menyiapkan diri menghadapi gelombang cuaca panas, seorang pejabat penting pada lembaga negara yang banyak berurusan dengan cuaca dan perubahan iklim menjawab dengan mengatakan fenomena suhu udara panas ini “sebaiknya ditanggapi serius oleh seluruh masyarakat Indonesia”.

Apa boleh buat, sekarang tampaknya respons serius publik dan media masih didominasi oleh isu capres yang makin kuat membetot perhatian publik. Paling mentok, isu jalan rusak dan gaya hidup selangit pejabat yang diduga mendapat banyak keuntungan karena posisinya.

Tentu saja patut disayangkan karena mestinya isu gelombang panas yang sedang jadi perhatian global bisa jadi momentum edukasi publik untuk adaptasi sekaligus mitigasi ancaman krisis serupa di Indonesia. Level keseriusannya seharusnya sama atau lebih seperti ketika pandemi menggila, misalnya ketika pemerintah mengingatkan habis-habisan betapa pentingnya vaksin untuk mendorong publik divaksinasi secara massal. 

Kita perlu khawatir kalau jawaban untuk ancaman krisis iklim masih sebatas ramainya lapak es teh hari-hari ini.

(vws)



LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS



Sumber: www.cnnindonesia.com