Jakarta, CNN Indonesia —
Beberapa siklon tropis sempat ‘menyerempet’ wilayah RI dan memicu cuaca ekstrem beberapa pekan terakhir. Mungkinkah efek Coriolis atau coriolis effect sudah tak berlaku lagi?
Ahli matematika dari Prancis Gaspard-Gustave de Coriolis mempublikasikan temuan soal efek ini pada abad 19. Prinsipnya, dikutip dari CNBC, daerah di garis khatulistiwa selalu berputar lebih cepat ketimbang daerah yang makin mendekati kutub.
Efeknya, badai tak akan masuk tepat di khatulistiwa.
Sebagai analogi, jika kita melempar bola dari Kutub Utara ke Pontianak, Kalimantan Barat, yang jadi patokan garis khatulistiwa, bola itu tidak akan bergerak dalam garis lurus. Bola pun akan jatuh di sebelah barat target, sekitar Samudra Hindia.
Sebaliknya, jika kita melempar bola dari selatan ke utara. Bola tersebut hanya akan berakhir di sebelah timur sasaran.
Menurut profesor Meteorologi di University of Hawaii Gary Barnes, efek coriolis yang maksimal berada di kutub Bumi dan paling rendah di khatulistiwa. Alhasil, tidak ada badai yang terbentuk di lintang 5 derajat hingga garis khatulistiwa.
Masalahnya, beberapa siklon tropis atau bibit siklon tropis dikabarkan berefek terhadap RI beberapa pekan terakhir.
Pada Kamis (7/4), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkap Bibit Siklon Tropis 98S terpantau di Laut Arafuru dengan kecepatan angin maksimal 20 knot dan tekanan udara minimal 1003,9 mb dan bergerak ke arah barat daya.
Per Sabtu (8/4), mengungkap Bibit Siklon Tropis 98S terpantau berada di sekitar Laut Timor, sebelah barat daya Saumlaki.
Kecepatan angin maksimum di sekitar sistemnya mencapai 30 knot atau 56 kilometer per jam. Siklon Tropis 98S ini akan mempengaruhi cuaca di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Per Senin (10/4) pukul 07.00 WIB, bibit siklon 98S berada di Samudera Hindia selatan Pulau Sumba dengan kecepatan angin maksimal 30 knot bergerak ke arah barat-barat daya.
Potensi menjadi siklon tropis dalam 24 jam ke depan kategori tinggi.
Pada saat yang sama, Bibit Siklon Tropis 90W terpantau di Samudera Pasifik sebelah utara Papua, sekitar 5,8º LU dan 135º BT, dengan kecepatan angin maksimal 15 knot dan tekanan udara minimal 1007 mb bergerak ke arah barat laut, Kamis (7/4).
Per Senin (10/4) pukul 07.00 WIB, bibit siklon ini berada di Samudera Pasifik sebelah utara Papua dengan kecepatan angin maksimal 20 knot bergerak ke arah barat laut.
Potensi menjadi siklon tropis dalam 24 jam ke depan kategori rendah.
Selain itu, BMKG juga mengungkapkan Bibit Siklon Tropis Herman sempat terdeteksi di wilayah RI, Rabu (29/3), dan memicu hujan deras hingga gelombang tinggi terutama di sekitar Sumatera dan Jawa.
Siklon tersebut kemudian bergerak ke arah tenggara menuju wilayah Australia. Per Senin (3/4) pukul 03.29 WIB, Badan Mteorologi Australia (BoM) mengungkap Siklon Tropis Herman sudah berubah menjadi Eks-Siklon Tropis Herman dengan kategori lemah (Low) sebelum kemudian raib.
Tak lagi kebal badai?
Dosen di Sekolah Tinggi Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi mengungkapkan potensi munculnya siklon tropis tetap mengikuti aturan semula. Yakni, daerah yang jauh dari ekuator lebih punya peluang.
“Dii situ ada parameter coriolis yang membatasi daerah-daerah yang paling berpotensi untuk menghasilkan rotasi yang paling kuat. Lokasi yang paling kuat adalah menjauhi ekuatorial,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (10/4).
Berdasarkan riwayatnya, kata Deni, belum ada badai yang amat dekat dengan khatulistiwa. Jika pun mendekati, kategorinya 1 atau 2 alias “enggak strong,” dengan kecepatan kurang lebih 117 km per jam.
“Paling-paling [mendekat] ke selatan Jawa, Kupang atau NTT. Di situ daerah berpotensi siklon,” imbuhnya.
Sebagai perbandingan, kata Deni, Siklon Tropis Herman di Australia bisa mencapai kategori 4 hingga 5 dengan kecepatan angin di atas 300 km per jam.
Deni pun menyebut yang belakangan melanda RI adalah efek dari rotasi siklon atau badainya, dengan kata lain ekor badainya, yakni berupa cuaca buruk.
“Intinya yang kita takutkan dari siklon itu kan efek rotasinya, bukan dia bergeraknya. Kalau dia [badai] kecepatan berputar itu bisa mencapai ratusan kilometer [per jam]. Semakin menjauh dari ekuatorial maka potensi rotasi vortisitas (ukuran putaran per satuan luas)-nya semakin besar,” tutur dia.
(can/arh)
Sumber: www.cnnindonesia.com