Kepulauan Marshall, Negara tanpa Dataran Tinggi Korban Krisis Iklim

Negara kecil tanpa dataran tinggi berpotensi tenggelam akibat perubahan iklim. Hal itu bisa menimbulkan migrasi besar-besaran manusia

Jakarta, CNN Indonesia

Kepulauan Marshall masuk ke dalam negara yang paling terancam tenggelam jika permukaan air laut terus naik akibat perubahan iklim. Kemana penduduknya mesti pindah jika pemanasan global kian tak terkendali?

Tina Stege, seorang aktivis lingkungan, mengungkapkan rumahnya di Kepulauan Marshall cuma berjarak 2 meter dari permukaan laut, hingga “Anda dapat melihat lautan di kedua sisi daratan hampir di mana pun Anda berada”.

Dilansir Reuters, Kepulauan Marshall merupakan salah satu negara dengan wilayah paling kecil di tengah Samudra Pasifik antara Kepulauan Hawaii dengan Filipina. Saking kecilnya, Kepulauan Marshall tak punya dataran tinggi.

“Di negara saya, tidak ada daerah yang lebih tinggi,” kata Tina Stege, aktivis perubahan iklim dari Kepulauan Marshall saat berbicara di KTT Perubahan Iklim COP27, di Mesir.

“Jika kami ingin memilikinya (dataran tinggi), maka kami harus membangunnya,” ujarnya menambahkan.

Dalam beberapa tahun ke depan, Kepulauan Marshall butuh dana miliaran dollar AS untuk membangun ‘bahtera Nuh’ berupa peninggian rumah 60 ribu penduduk dan infrastruktur. Sayangnya, dana tersebut sulit untuk didapatkan.

Migrasi pun menjadi solusi yang paling realistis bagi Stege dan warga Kepualuan Marshall lainnya -hal sama yang akan dilakukan warga dunia lainnya yang wilayahnya terancam akibat perubahan iklim.

“Kami jangan terlalu naif untuk berpikir di situasi saat ini, orang-orang tidak akan berpindah,” kata Direktur Jenderal International Organization for Migration (IOM), Antonio Vitorino.

Perubahan iklim telah menghasilkan “dampak jelas bagi mobilitas manusia,” ujarnya menambahkan.

Pada 2021, sekitar 23,7 juta penduduk dunia pindah dari negara mereka sendiri sebagai dampak dari bencana ekstrem. Demikian dinyatakan statistik Internal Displacement Migration Centre.

Tanpa upaya serius dan cepat untuk menghadapi perubahan iklim, diperkirakan 216 juta penduduk bisa bermigrasi pada 2050. Kebanyakan, migrasi karena perubahan iklim terjadi di internal masing-masing negara.

Namun bagi negara yang berada di dataran rendah, hal itu tidaklah terjadi.

Di sisi lain, migrasi karena perubahan iklim juga bisa mempermudah gerakan ekstrem merekrut anggota. Hal itu sudah terlihat pada wilayah Sahel di Afrika yang mengalami kekurangan air dan gagal panen sebagai akibat dari kekeringan.

“Perbedaan antara krisis iklim dan kemanusiaan menjadi semakin artifisial. Kita harus memikirkan dua hal itu bersama-sama,” ujar Kepala Pelaksana Directorate-General for European Civil Protection and Humanitarian Aid Operations.

Dana besar

Rabab Fatima, selaku perwakilan dari kepulauan kecil dan negara berkembang, mengatakan pendanaan besar sangat mendesak untuk menanggulangi masalah migrasi tersebut.

“Untuk semua negara-negara ang rentan ini, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan adaptasi pendanaan. Kita butuh peningkatan adaptasi investasi global untuk menyelamatkan jutaan kehidupan dari kematian akibat iklim,” katanya.

Sayangnya, imbauan Fatima masih jauh panggang dari api. Dari total US$100 miliar yang dijanjikan negara-negara maju, baru sebagiannya yang diberikan.

Vittorino mengatakan pembatasan migrasi bisa dilakukan jika ada investasi yang lebih baik dalam inovasi kemanusiaan dan sistem peringatan dini. Aksi antisipatif antara lain melibatkan pemberian dana dalam jumlah kecil kepada keluarga-keluarga jelang menghadapi bencana cuaca.

Hal itu sudah dilakukan Program Pangan Dunia PBB pada 2020 yang memberikan sejumlah dana kepada 142 ribu orang di Banglades lima hari sebelum banjir datang. Hasilnya, keluarga-keluarga itu terhindar dari kelaparan selama bencana itu melanda.

[Gambas:Video CNN]

(lth/arh)






Sumber: www.cnnindonesia.com