Jakarta, CNN Indonesia —
Kualitas udara Jakarta tercatat sebagai yang terburuk di dunia pada Selasa (2/5) mengalahkan kota-kota langganan juara seperti Beijing (China) dan Delhi (India).
Hal ini terungkap dalam peringkat kualitas udara dan polusi yang dirilis IQAir. Per pukul 12.41 WIB, IQAir mengungkap kualitas udara (Air Quality Index/AQI) Jakarta punya nilai 164.
Angka ini masuk kategori tak sehat lantaran 11,3 kali standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“PM2.5 concentration in Jakarta is currently 11.3 times the WHO annual air quality guideline value,” demikian keterangan IQAir.
Pengukuran kualitas udara IQAir dilakukan dengan mengacu pada angka PM2.5, yang adalah polutan berbentuk debu, jelaga, asap berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron.
IQAir menyebut Jakarta juga memiliki polutan utama PM2.5 dengan tingkat konsentrasi mencapai 98,9 mikrogram per meter kubik.
Pengukuran kualitas udara situs ini dilakukan dengan mengacu pada angka PM 2.5, yang merupakan polutan berbentuk debu, jelaga, asap berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron.
Nilai AQI yang berkategori kualitas udara yang baik sendiri memiliki nilai 0 hingga 50.
Nilai di atas 150 sampai 200 berarti kualitas udara berada dalam tingkatan yang tidak sehat (unhealthy). Sedangkan indeks udara dari 100 sampai 150 berarti tidak sehat untuk sejumlah kelompok sensitif.
Untuk hari ini, kota-kota di luar Jakarta masih masuk unhealthy for sensitive group (tak sehat buat kelompok sensitif).
Pada peringkat kedua, misalnya, Kathmandu (Nepal) punya nilai PM2.5 144, Kolkata (India) di peringkat tiga dengan nilai 144, Karachi (Pakistan) 130, Wuhan (China) 130, Johannesburg (Afsel) di ranking keenam dengan nilai 129, dan Delhi (India) 127.
Beijing, salah satu langganan juara polusi, ada di peringkat 16 dengan nilai AQI 97.
Prestasi Jakarta ini mengulang beberapa rekor tahun lalu. Pada Rabu (22/6/2022), DKI menjadi yang terburuk di dunia dengan skor 163, mengalahkan Beijing (159) dan Dhaka (157).
Pada Rabu (15/6/2022) pukul 09.50 WIB, kualitas udara jakarta terburuk di dunia dengan nilai AQI 183.
Jalanan kosong
Berdasarkan Public Expose: Strategi Pengendalian Pencemaran Udara Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2022 yang dirilis Senin (19/9/2022), sektor transportasi jadi yang terbanyak menyumbang polusi.
Total empat sektor yang dihitung sebagai penyumbang polusi, yakni industri energi, manufaktur, transportasi, residensial dan komersial.
“Dari inventarisasi emisi tersebut, sektor transportasi menjadi kontributor terbesar terutama untuk polutan NOx, CO, PM10, PM2.5. SO2 didominasi oleh sektor industri,” menurut keterangan tersebut.
Namun, berdasarkan pantauan, jalanan di Jakarta saat ini masih terbilang lengang meski perkantoran swasta dan pemerintahan mestinya sudah beroperasi sejak pekan lalu usai libur lebaran.
Google Maps pun cuma menampilkan warna merah padam jalanan di sedikit persimpangan. Jalanan-jalanan protokol masih berkategori hijau.
Lalu kenapa udara buruk?
Ada sejumlah kemungkinan yang bisa membuat polusi udara Jakarta buruk di luar kemacetan.
Pertama, kepungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Jeany Sirait sempat menyebut ada 21 PLTU di Banten yang memengaruhi kualitas udara di Jakarta.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada 2017, 10 PLTU berbahan bakar batu bara tercatat menyumbang polusi di Jakarta.
Yakni, PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW.
Kemudian, PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW.
“Transportasi itu [menyumbang emisi] sekitar 30 sampai 40 (persen); pembangkit itu sekitar 20 sampai 30 persen, sisanya dari bakar sampah dan lain-lain, ada juga dari sumber lain,” sambung Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung, di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Kedua, faktor angin. Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko mengungkapkan penurunan kualitas udara di Jakarta dipicu oleh kombinasi antara sumber emisi dan pola angin.
“Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di wilayah ini,” jelasnya, kemarin.
Selain itu, kata dia, ada stagnasi pergerakan udara yang menyebabkan polutan yang terakumulasi di ibu kota tidak beranjak.
(lom/arh)
Sumber: www.cnnindonesia.com