Jakarta, CNN Indonesia —
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong membuka peluang lahirnya lembaga baru dari rancangan Peraturan Presiden (perpres) soal Publisher Rights atau hak penerbit
Usman mengatakan, perpres itu ditargetkan rampung Maret mendatang. Lembaga yang akan membahas aturan turunan perpres tersebut pun masih dalam pembahasan.
“Ya masih kita bahas seperti apa bentuknya tetapi yang jelas semangat bentuknya harus didasarkan pada prinsip kemerdekaan pers,” kata Usman di kantor Kominfo, Rabu (15/1).
Sebelumnya, publisher rights atau hak penerbitan diajukan oleh Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability kepada Kominfo. Melansir Antara, draft usulan itu berjudul “Usulan Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform Digital”.
Usulan ini mencakup hak pengelola media untuk mengatur dan mengurangi dominasi berlebihan platform digital. Aturan tersebut dinilai perlu agar konvergensi media dapat memberi peluang yang sama untuk media massa konvensional atau media baru.
Usman mengatakan, lembaga yang mengatur hubungan antara platform digital dan media bisa berasal dari lembaga yang sudah ada atau baru dibentuk. Saat ini, kata Usman, Kominfo masih mendengar beragam pendapat untuk mendapatkan bentuk yang ideal.
“Kalau yang kami usulkan itu di existing body. Artinya lembaga yang sudah ada. Tetap kita dengar pendapat yang lain, pasti ada yang mau lembaga baru atau lembaga yang di bawah presiden. Nanti kita bahas yang mana yang paling ideal,” kata Usman.
Usman menambahkan, peraturan tentang hubungan platform digital dan media perlu dibuat. Menurutnya, dengan ada peraturan tersebut “semua punya kewajiban untuk melaksanakan regulasi ini,”
Platform-platform digital yang dimaksud antara lain Google dan Facebook. Usman mengungkapkan, platform-platform itu menyalurkan atau memanfaatkan berita dari media di Indonesia.
Sayangnya, timbal balik kepada media di Indonesia masih sebatas sukarela dari platform tersebut. “Dengan adanya regulasi semua punya kewajiban untuk melaksanakan regulasi ini yang dengan ukuran-ukuran tertentu ya pasti ukuran-ukuran tertentu,” katanya.
Lebih lanjut, perpres yang rencananya disahkan Maret ini mewajibkan platform-platform digital memberi timbal balik kepada media yang kontennya diambil. Soal bentuk timbal balik tersebut akan diatur oleh lembaga yang bakal dibentuk.
“Soal mekanisme tadi itu nanti akan diatur oleh pelaksanaannya ya. Apakah tadi membayar kompensasi. Apakah bagi hasil ya atau yang lain-lain itu diatur oleh badan pelaksana,” katanya.
Contoh Negara Lain
Di sisi lain, Usman mengungkapkan publisher rights bukan barang baru di dunia. Ia mencontohkan beberapa negara yang telah memilikinya sebelum Indonesia.
“Beberapa negara Eropa kita jadikan benchmark, Inggris juga. Inggris itu malah code of conduct sudah diajukan ke parlemen tapi jadinya kode etik,” katanya.
“Uni Eropa punya. Kanada sedang merancang. Kalau kita punya regulasi nanti. Kita negara progresif kedua setelah Australia. Asia belum ada. Malah negara-negara Asia sedang ngintip-ngintip Indonesia,” ujar Usman mengakhiri.
Mengutip situs resmi Komisi Pengawasan Konsumen dan Kompetisi Australia (Australian Competition & Consumer Comission), kode ini menjadi semacam aturan main yang mengatur hubungan komersil antara bisnis media Astralia dengan platform digital yang mengambil keuntungan dari ketidakseimbangan kekuatan penawaran.
Berkat keberadaan kode ini, “Google dan Facebook (kini Meta) mencapai kesepakatan komersial secara sukarela dengan sejumlah organisasi media berita [Australia]”
(lth)
[Gambas:Video CNN]
Sumber: www.cnnindonesia.com