Jakarta, CNN Indonesia —
Sebelum resmi jadi pemilik Twitter setelah menuntaskan proses akuisisi senilai US$44 miliar (Rp683,4 triliun) per Jumat (28/10), miliarder Elon Musk sempat menebar sejumlah janji perubahan platform media sosial itu.
Musk sudah berencana membeli Twitter paling tidak sejak pertengahan tahun ini. Ia memulainya dengan lebih dahulu membeli 9,2 persen saham Twitter.
CEO SpaceX itu kemudian berencana membeli Twitter setelah merasa platform tersebut tidak menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tindakan Musk ini mendapat ‘perlawanan’ dari dewan direksi Twitter yang menerapkan kebijakan ‘poison pill’.
Pada akhirnya, dewan direksi sepakat melepas Twitter kepada Musk. Setelah itu, beberapa drama terjadi karena Musk sempat menolak meneruskan akuisisi.
Di tengah jalan, Musk memutuskan hengkang dari akusisi lantaran merasa ditipu soal jumlah data akun bot. Twitter lalu menggugat Musk ke Pengadilan Delaware, AS, demi memaksa Musk menuntaskan kesepakatan.
Jelang persidangan, Musk berubah pikiran dan malah mau melanjutkan akuisisi. Hakim Pengadilan Delaware Kathleen McCormick menetapkan tenggat waktu kepada Musk untuk menuntaskan akuisisi, yakni Jumat (28/10).
“Jika transaksinya tidak rampung pada jam 5 sore 28 Oktober 2022, kedua pihak diminta mengontak saya lewat email pada sore hari untuk mendapatkan jadwal persidangan November 2022,” kata McCormick seperti dikutip CNN.
Kini, Musk sudah berstatus sebagai pemilik Twitter dan mencopot para petingginya. Disarikan dari berbagai sumber, berikut lima janji perubahan yang sempat dilontarkannya jika merealisasikan pembelian Twitter:
1. Fitur Edit Twitter
Musk tergolong pemilik saham yang vokal sebelum resmi menjadi pemilik tunggal Twitter. Ia pun menggelar voting untuk memunculkan fitur tombol edit pada 5 April. “Apakah Anda ingin ada tombol edit?” kicau Musk.
Dalam pemungutan suara itu, 73,6 persen persen responden setuju dengan inisiatif tersebut. Sementara, 26,4 persen lainnya mengatakan tidak kepada tombol edit.
Melansir TechCrunch, fitur edit memiliki sejumlah kontroversi. Pasalnya, hal itu bisa berdampak kepada pembaca.
Contohnya, kesalahan pada laporan berita terkini (breaking news). Karena bisa diedit, pembaca menjadi tidak tahu kalau laporannya adalah hasil editan. Biasanya, jika ada kesalahan dalam sebuah tweet, jurnalis atau pengguna lain akan mengoreksinya dengan menambahkan tweet klarifikasi setelahnya.
2. Tak bebas lepas
Sejak awal, Musk mengkritisi moderasi konten alias sensor di Twitter sambil menyatakan keinginannya menjadikannya platform itu memihak kepada kebebasan berpendapat (free speech).
Ia bahkan berencana mengaktifkan lagi akun mantan Presiden AS Donald Trump yang diblokir permanen karena memicu kerusuhan massa di Pilpres AS 2020.
“Saya pikir tidak tepat untuk menyanksi Donald Trump. Saya kira itu sebuah kesalahan,” ucapnya, dikutip dari CNN, 10 Mei.
“Saya akan membatalkan sanksi permanennya. Memblokir Trump dari Twitter tidak mengakhiri suara Trump, itu justru akan memperkuatnya di antara kaum kanan dan inilah kenapa itu salah secara moral dan benar-benar bodoh,” cetus dia.
Belakangan, Musk melunak. Ia mengaku kebebasan berpendapat itu tetap mesti sesuai dengan hukum. Terkini, ia mengaku tak ingin Twitter menjadi platform dengan ‘pemandangan seperti neraka’.
“Twitter jelas tidak bisa menjadi tempat dengan pemandangan seperti neraka, di mana semua bisa dikatakan tanpa ada konsekuensinya,” kicau Musk dalam akunnya, Kamis (27/10).
Dear Twitter Advertisers pic.twitter.com/GMwHmInPAS
— Elon Musk (@elonmusk) October 27, 2022
Meredam Polarisasi dan Super Apps di halaman berikutnya…
Meredam Polarisasi hingga Super Apps
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: www.cnnindonesia.com