Indeks

Drama Elon Musk Ambil Alih Twitter dan Potensi Hoaks Menggila

Miliarder Elon Musk mengaku membeli Twitter bukan karena untuk menghasilkan lebih banyak fulus namun demi kemanusiaan. Semulia itukah dia?

Jakarta, CNN Indonesia

Miliarder Elon Musk resmi jadi pemilik tunggal Twitter usai menuntaskan akuisisi senilai US$44 miliar (Rp683,3 triliun). Masalah moderasi konten alias sensor pun memicu kerisauan publik.

Dikutip dari Reuters, penuntasan pembelian itu dilakukan pada Kamis (27/10) waktu AS atau Jumat (28/10) WIB.

Begitu sukses menuntaskan akuisisi, menurut sumber, Musk memecat CEO Twitter Parag Agrawal, Chief Financial Officer Ned Segal, dan kepala urusan hukum dan kebijakan Vijaya Gadde, sosok sentral di balik pemblokiran mantan Presiden AS Donald Trump.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Agrawal dan Segal yang berada di markas Twitter San Francisco ketika kesepakatan akuisis dilakukan pun dikawal keluar gedung.

Menurut The New York Times, Sean Edgett, penasihat umum, juga dipecat. Bloomberg turut melaporkan Chief Customer Officer Sarah Personette, yang sempat berkicau senang dengan akuisisi oleh Musk ini, senasib.

Meski demikian, mereka menerima pesangon besar. Menurut Insider, Agrawal mendapat US$38,7 juta, Segal mendapat US$25,4 juta, Gadde mendapat US$12,5 juta, dan Personette mendapat US$11,2 juta.

Pengambilalihan Twitter itu jadi penutup drama maju-mundur proses akuisisi sejak awal tahun.

Sempat menguasai 9,2 persen saham Twitter, yang menjadikannya individu terbesar pemegang saham, Musk mengajukan penawaran 100 persen saham Twitter senilai total US$44 miliar.

Proses pun dilakoni. Di tengah jalan, Musk ingin hengkang lantaran merasa ditipu soal jumlah data akun bot yang disebutnya ada jauh di atas 5 persen. Twitter menggugat Musk ke Pengadilan Delaware, AS, demi memaksanya menuntaskan kesepakatan.

Jelang persidangan, Musk berubah pikiran dan malah mau melanjutkan akuisisi. Hakim Pengadilan Delaware Kathleen McCormick menetapkan tenggat waktu kepada Musk untuk menuntaskan akuisisi, yakni Jumat (28/10).

“Jika transaksinya tidak rampung pada jam 5 sore 28 Oktober 2022, kedua pihak diminta mengontak saya lewat email pada sore hari untuk mendapatkan jadwal persidangan November 2022,” kata McCormick, dikutip dari CNN.

Musk, CEO Tesla dan SpaceX itu, pun menuntaskan proses akuisisi pada tenggat.

the bird is freed (sang burung dibebaskan, red),” kicau Musk di akunnya, merujuk pada logo burung biru Twitter, Jumat (28/10).

Kebebasan berpendapat

Masalahnya, sejak lama Musk memicu kekhawatiran lantaran beberapa kali melontarkan kicauan soal kebebasan berpendapat yang mutlak.

Ia kian memicu skeptisisme lantaran berjanji mengembalikan akun mantan Presiden Donald Trump yang diblokir permanen usai memprovokasi serangan massa ke gedung Kongres AS, 6 Januari 2021. Selain itu, ia mendukung rapper Kanye West, yang kerap berkicau soal rasisme.

Belakangan Musk melunak sambil menyebut kebebasan versinya tetap mematuhi hukum. Sehari sebelum akuisisi, ia juga mencoba meyakinkan pengiklan terutama terkait aturan moderasi konten Twitter.

“Twitter jelas tidak bisa menjadi neraka yang bebas untuk semua, di mana apa pun bisa dilontarkan tanpa konsekuensi!” kicau Musk dalam sebuah surat terbuka di Twitter.

Platform media sosial ini sendiri sejak lama menjadi alat politik utama. Para politikus dan aktivis di seluruh dunia pun bisa menjangkau jutaan orang lewat retorika yang sebagian besar tanpa filter.

Di luar kasus Trump, Twitter berperan dalam hal positif, seperti gerakan #MeToo yang mendukung korban kekerasan seksual, protes Musim Semi Arab di Timur Tengah, hingga menjadi wadah kampanye penentangan rasisme lewat gerakan Black Live Matters.

Namun, para pengamat memperingatkan situs tersebut juga telah membantu menyebarkan informasi yang salah, informasi yang tidak akurat atau menyesatkan, dan disinformasi (informasi yang sengaja dibuat palsu) yang merusak prinsip-prinsip demokrasi.

“[Akuisisi oleh Musk] tentu saja dapat menciptakan jalur yang jauh lebih besar bagi agen disinformasi untuk menyebarkan informasi berbahaya di platform tersebut,” kata Yosef Getachew, direktur program media dan demokrasi di Common Cause, organisasi kepentingan publik nonpartisan.

Di saat yang sama, sosok yang kukuh menegakkan aturan moderasi konten Twitter termasuk dalam kasus Trump, Vijaya Gadde, turut dipecat. 

“Kebijakan moderasi konten hanya efektif jika ada orang di sana untuk menegakkannya dan sistem yang ada untuk memastikannya ditegakkan. Jika aturan itu tidak berlaku, itu akan sangat berbahaya.”

Meski nantinya ada kebijakan dari Twitter pusat, seperti membangkitkan akun-akun penebar provikasi, Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan tiap negara masih bisa menyensor.

“Iya harus begitu. Negara tidak boleh tunduk oleh sebuah perusahaan platform. Negara harus punya visinya masing-masing,” kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/5).

Ia mencontohkannya dengan aplikasi Telegram yang sempat meresahkan karena menjadi sarang grup-grup propaganda terorisme. Meskipun batal diblokir, Telegram akhirnya memberikan akses kepada pemerintah untuk mengatur konten yang dinilai membahayakan.

“Ketika Telegram digunakan untuk pertukaran informasi terorisme dan sebagainya, maka pihak berwenang diizinkan untuk masuk dan negara bisa minta take down (penurunan konten),” tandas Firman.

(tim/arh)


[Gambas:Video CNN]




Sumber: www.cnnindonesia.com

Exit mobile version