Difa Ayatullah, Puja Langit Berujung Mimpi Pembalut Ramah Bumi

Bermula sebagai penggemar astronomi, mahasiswi ITB Difa Ayatullah banting setir mengurusi sampah usai melihat Bumi yang penuh dengan sampah pembalut.

Jakarta, CNN Indonesia

Difa Ayatullah (20) mulanya adalah penggemar astronomi. Masalah sampah memaksanya membumi. Tak cuma kata, ia berkarya lewat pembalut organik ramah alam.

Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 2019 itu mengaku hidup selayaknya anak daerah pada umumnya meski ada keragaman dalam hal pergaulan. Hal itu tak lepas dari pendidikannya di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendikia, Gorontalo.

“SMA itu aku sekolah di Gorontalo. Alhamdulilah-nya dengan cukup diversity, bukan cuman anak sulawesi aja jadi ada banyak teman-teman dari Jawa, jadi lebih membuka mata aku aja mulai sadar motivasi untuk melakukan lebih, bukan hanya sekolah dan bekerja saja,” ujar Difa, dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (15/10).

Gadis kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu pada mulanya adalah pecinta dunia astronomi hingga sempat mewakili Gorontalo di olimpiade astronomi. Selepas dari MAN, ia pun tertarik masuk ke program studi fisika. Tujuannya, mendalami ilmu fisika teori untuk menunjang keingintahuan di bidang astronomi.

Namun, Difa mulai teraliihkan saat melihat masalah sampah di sekitarnya. Hal itu mengubah haluannya untuk lebih memperdalam peminatan lain untuk melindungi alam.

Ketika masuk ke kampus Ganesha tiga tahun lalu. Ia tertarik mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pecinta alam. Dari situlah ia bertemu dengan kawan yang memiliki visi yang sama untuk membuat penemuan.

Hingga pada satu titik tercetuslah gagasan soal pembalut organik.

Kenapa pembalut?

Awalnya adalah pesan WhatsApp yang diterima Difa pada tahun lalu dari teman jurusan kewirausahan ITB soal gagasan pembalut itu.

Mahasiswi semester VII di Program Studi Fisika ITB itu mengungkap lebih dari 50 persen populasi dunia mengalami menstruasi. Namun, masalah kebersihan kewanitaan itu belum berkorelasi dengan pelestarian lingkungan.

“Terlebih, kita menemukan infografis yang bilang satu pembalut itu sama dengan empat kantung plastik,” ujarnya.

“Gimana caranya bikin yang bisa terurai. Konsepnya sama dengan pembalut yang higienis, dan produk akhirnya tapi enggak nyampah,” sambungnya.

Dia menilai pembalut menghasilkan masalah yang sama tak ubahnya seperti sampah biasa. Kendati sampah bisa diolah “kalau terbuangnya di tempat pembuangan yang tidak dipilah, sama saja,” tuturnya.

Dikutip dari Reuters, pembalut wanita sekali pakai menyumbang sampah yang terbilang tinggi. Di Amerika Utara, hampir 20 miliar pembalut wanita, tampon, dan aplikator dibuang ke tempat pembuangan sampah di setiap tahun.

Sementara, sampah pembalut di Indonesia sendiri mencapai 26 ton per hari.

Angka yang terbilang tinggi itu belum lagi ditambah dengan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia. Lewat sensus Sensus Penduduk pada 2020 mencatat jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa. Itu bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan hasil sensus 2010.

Difa bersama tiga orang teman dari berbagai jurusan di ITB yang anti-sampah plastik lantas merumuskan dan mulai meneliti soal formula pembalut yang tidak merusak alam.

Gagasan itu diikutsertakan dalam beberapa lomba, salah satunya Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM).

“Akhirnya kita ya udah tiba-tiba dapet funding pertama dari Paragon Innovation Schollarship. Akhirnya punya dana untuk melakukan proyek dan bisa mulai gawe, dan itu menjadi pembuka jalan banget,” tuturnya.

Beberapa bulan lalu, Difa mendapat unggahan Falling Walls Lab dari kampusnya. Tertulis “win your global final”, dan akhirnya diundang ke Berlin, Jerman, untuk mempresentasikan hasil kerja timnya.

“Ternyata bisa ke Berlin ini. Ini kesempatan bagus banget ini, banyak kesempatan buat diskusi dengan pihak ahli dan dipertemukan investor,” ujarnya.

Teknik pembuatan pembalut organik di halaman berikutnya…



Resep Rahasia

BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Sumber: www.cnnindonesia.com