Indeks

Debit Air di Bogor dan Drainase, 2 Faktor Penentu Banjir di Jakarta

WALHI menyebut banjir atau tidaknya Jakarta sangat tergantung kepada debit air di Bogor.

Jakarta, CNN Indonesia

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut, banjir kiriman di Jakarta sangat bergantung kepada debit air di Bogor. Demikian dikatakan perwakilan WALHI, Muhamad Aminullah.

“Dalam konteks air kiriman, banjir Jakarta juga dipengaruhi debit air dari Bogor, khususnya Ciliwung yang hulunya di Bogor. Perannya di debit air. Semakin besar debit air di Bogor, potensi banjir di Jakarta juga semakin besar,” kata Aminullah kepada CNNIndonesia.com

Ia mengatakan, debit air ini pun dipengaruhi oleh tutupan lahan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) di hulu. “Semakin tipis tutupan lahan di hulu, debit air semakin besar,” katanya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya menyatakan cuaca ekstrem masih akan terjadi paling tidak hingga akhir pekan ini. Bukan hanya di Jakarta, cuaca ekstrem itu akan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Menurut BMKG, paling tidak ada tiga fenomena yang menyebabkan cuaca ekstrem tersebut. Fenomena itu adalah Gelombang Kelvin, Rossby Ekuatorial, dan Madden Jullian Oscillation (MJO).

Berdasarkan kondisi tersebut, ada 24 wilayah yang diprediksi bakal dilanda hujan dengan intensitas sedang-lebat dan disertai petir serta angin kencang. Jakarta masuk ke dalam 24 wilayah tersebut.

Aminullah mengatakan, untuk mencegah banjir di Jakarta, perlu adanya pengembalian fungsi tutupan lahan di sekitar DAS. Selain itu, diperlukan pula pembenahan jika ada sedimentasi dan penyempitan sungai.

“Harus dibenahi supaya debit air yang melaju di Ciliwung masih bisa ditoleransi Jakarta,” ujarnya.

Lebih lanjut, Aminullah mengatakan, selama ini program-program penanganan banjir di Jakarta belum maksimal. Alhasil, masih ditemui banjir yang tingginya lebih dari satu meter bahkan memakan korban jiwa.

“2018-2022 ada 55 orang meninggal akibat banjir jakarta. Hal ini yg belum menjadi perhatian. Pemerintah seringnya mengukur efektivitas upaya penanganan banjir dari waktu diserap tanah. Padahal tetap saja, ada pihak yang dirugikan dari banjir yang mereka sebut “tidak lama” itu,” katanya.

Lantas butuh berapa lama mengatasi banjir Jakarta?

Menurut Aminullah, hal itu tidak dapat diperkirakan. Yang jelas, kata dia, Jakarta butuh sosok gubernur yang berani mengembalikan lahan-lahan hijau yang telah beralih fungsi.

Hal itu menurutnya tidaklah mudah. Pasalnya, gubernur harus berani melawan korporasi. Aminullah menilai, selama ini pemerintah selalu takut kepada korporasi.

“Daya serap tanah Jakarta hanya 10%, dan itu salah satu penyebabnya adalah hilangnya area resapan di Jakarta. Kalau serius mau diperbaiki, ya ambil alih ruang hijaunya,” kata Aminullah.

“Yang terjadi pemerintah takut sama korporasi. RTH  (Ruang Terbuka Hijau) berdasarkan masterplan pertama jakarta jumlahnya 37% dan sekarang tinggal 5%. RTH selalu kalah oleh kepentingan korporasi,” ujarnya.

Kualitas Drainase

Di sisi lain, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai banjir Jakarta sebetulnya bukan lagi banjir kiriman. Hanya saja, banyaknya debit air di Ciliiwung ikut menentukan, terutama bagi daerah di sekitar.

Hal tersebut dikatakan Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari. Menurutnya, banjir di Jakarta lebih dikarenakan buruknya drainase. 

“Kita harus ingat bahwa banjir di Jakarta bukan lagi banjir tradisional yang dulu kita selalu dengar ini banjir kiriman, sekarang sudah tidak seperti itu,” kata Abdul dalam acara daring yang disiarkan melalui kanal YouTube BNPB Indonesia, Senin (10/10).

Abdul kemudian mencontohkan banjir yang tidak disebabkan banjir kiriman di Jakarta, seperti banjir di kawasan Latuharhari pada 2013 hingga banjir di wilayah Halim pada 2020 lalu. Menurutnya banjir tersebut tidak ada hubungannya dengan kondisi di daerah hulu. 

Lebih lajut, Abdul juga menyampaikan bahwa Kabupaten Bogor di Jawa Barat menjadi daerah dengan frekuensi bencana hidrometeorologi paling tinggi di Indonesia. Dalam rentang 2012-2022 misalnya, Kabupaten Bogor mengalami 181 kejadian bencana banjir.

“Kabupaten Bogor ini adalah kabupaten dengan frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi paling tinggi di Indonesia ya, tidak hanya di Jabodetabek. Frekuensi kejadian banjir di Kabupaten Bogor itu benar-benar agak luar biasa, lebih dari dua kali lipat dari kabupaten/kota lainnya,” lanjutnya. 

(lth/lth)

[Gambas:Video CNN]




Sumber: www.cnnindonesia.com

Exit mobile version