Jakarta, CNN Indonesia —
Konferensi Tingkat Tinggi Iklim (COP27) di Mesir menghasilkan kesepakatan untuk mendanai negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Yakin ditaati semua negara?
Dikutip dari situs PBB, Konferensi Para Pihak ke-27 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP27), di kota Sharm el-Sheikh, Mesir, Mingggu (20/11), diakhiri dengan “keputusan bersejarah untuk menetapkan dan mengoperasionalkan dana kerugian dan kerusakan (loss and damade fund).”
Menyambut baik keputusan tersebut dan menyebut dana itu penting, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan bahwa lebih banyak yang harus dilakukan untuk mengurangi emisi secara drastis sekarang.
“Dunia masih membutuhkan lompatan besar dalam ambisi iklim,” katanya, dalam sebuah pernyataan.
“Garis merah yang tidak boleh kita lewati adalah garis yang membuat planet kita melewati batas suhu 1,5 derajat,” tegasnya, mendesak dunia untuk tidak menyerah “dalam perjuangan untuk keadilan iklim dan ambisi iklim.”
COP27 ini sendiri berlangsung 6 hingga 20 November. Iisnya, pertemuan tingkat tinggi dan sampingan, negosiasi penting, dan konferensi pers, menampung lebih dari 100 Kepala Negara dan Pemerintahan, lebih dari 35 ribu peserta, dan banyak paviliun yang menampilkan aksi iklim di seluruh dunia dan di berbagai sektor.
Apa itu loss and damage fund?
Kesepakatan itu sendiri tertuang dalam Sharm el-Sheikh Implementation Plan bagian V soal Adaptasi dan VI tentang Loss and damage.
“Mendesak Para Pihak untuk mengadopsi pendekatan transformasional untuk meningkatkan kapasitas adaptif, memperkuat ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim,” demikian paragraf 18 poin kesepakatan di bagian Adaptasi itu.
“Juga mendesak pihak negara maju untuk segera dan secara signifikan meningkatkan penyediaan pendanaan iklim, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas untuk adaptasi demi menanggapi kebutuhan pihak negara berkembang sebagai bagian dari upaya global, termasuk untuk perumusan dan pelaksanaan rencana adaptasi dan adaptasi komunikasi,” lanjut paragraf berikutnya.
Informasi dari Kerja Kelompok II dan III untuk Laporan Kajian Keenam dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim mengungkapkan efek buruk dari perubahan iklim di semua wilayah.
Yakni, kehancuran ekonomi dan kerugian non-ekonomi, termasuk pemindahan paksa dan dampak pada warisan budaya, mobilitas manusia dan kehidupan serta mata pencaharian masyarakat lokal.
“Menyambut pertimbangan, untuk pertama kalinya, hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan pendanaan merespons kerugian dan kerusakan yang terkait dengan efek merugikan dari perubahan iklim, termasuk fokus pada penanganan kerugian dan kerusakan, di bawah Konferensi Para Pihak dan Konferensi Para Pihak,” demikian di paragraf 22.
“Tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan pendanaan menanggapi kerugian dan kerusakan yang terkait dengan efek merugikan dari perubahan iklim,” lanjut pernyataan itu.
Di luar kesepakatan itu, pernyataan final COP27 meliputi usaha untuk membatasi pemanasan global ke angka 1,5 derajat celsius dari level pra-industrial, alias tak berubah dari kesepakatan sebelumnya di Glasgow.
Selain itu, pernyataan tersebut juga mencakup energi terbarukan untuk pertama kali. Di saat yang sama, para peserta juga menekankan lagi kesepakatan sebelumnya untuk mempercepat “upaya menuju pengurangan bahan bakar tenaga batu bara yang belum berhenti dan penghentian subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien”.
Sesungguhnya, tidak ada hal baru yang dibuat di COP27 terkait hal tersebut. Hal terkait pengurangan bahan bakar fosil hanya dibahas secara normatif.
Respons negara-negara terakit hasil COP27 di halaman berikutnya…
Respons Negara-negara
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: www.cnnindonesia.com