DPR mempertanyakan alasan Kementerian Komunikasi dan Informatika tak serentak menggelar pemadaman siaran TV analog atau Analog Switch Off (ASO) 2 November 2022 sesuai UU Cipta Kerja. Posisi lemah memangnya?
Perintah ASO itu tercantum dalam Pasal 60A UU Cipta Kerja. Yakni:
(1) Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
(2) Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
Sementara, UU Ciptaker diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 November 2O2O. Artinya, 2 November 2022 merupakan batas akhir penghentian siaran analog.
Namun, dalam paparannya di Rapat Kerja dengan Komisi I DPR, Rabu (23/11), Menkominfo Johnny G. Plate menyebut ada 503 lembaga penyiaran yang melakukan siaran secara simulcast atau siaran bersamaan antara siaran digital dan analog seusai tenggat 2 November.
“Dari 696 lembaga penyiaran secara nasional 77 lembaga penyiaran telah bersiaran secara digital dan 503 lembaga penyiaran secara simulcast, khusus di Jabotabek seluruh 25 lembaga penyiaran telah menghentikan siaran analog,” ujar dia dalam paparannya.
Selain itu, Plate juga menyebut dari 225 wilayah layanan siaran di Indonesia, ASO telah dilakukan di 132 wilayah layanan atau tepatnya 230 Kabupaten dan Kota. Sehingga, pelaksanaan ASO masih tersisa untuk 93 wilayah layanan, tepatnya 284 Kabupaten dan Kota yang akan dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan wilayah.
Melihat hal itu, Anggota Komisi I DPR RI Rudianto Tjen mengaku sedih dengan kondisi siaran televisi analog yang masih tayang, yang artinya tak sejalan dengan UU.
“Hari ini agak sedih mendengar paparan dari pemerintah bahwa namanya UU sebenarnya kan harus kita laksanakan dengan tegas, apalagi ini kebijakan udah ada, aturan tegas,” ujar dia, usai mendengar paparan Menkominfo Johnny G. Plate dalam Rapat Kerja di DPR, Jakarta, Rabu (23/11).
“Tapi hari ini kita lihat paparan Kominfo ini seakan-akan memaklumi kita melanggar UU bahwa kita deadline 2 November harus switch off, tapi seakan-akan kita memaklumi lembaga penyiaran atau apalah namanya masih analog,” lanjut politikus PDIP.
Baginya, kondisi ini membuat Kominfo dalam posisi “sangat lemah.”
“Bahwa harusnya pemerintah itu tegas dengan undang-undang yang diamanatkan, tetapi pemerintah sampai hari ini masih memaklumi siaran analog yang kita katakan deadline-nya adalah 2 November 2022,” ujar Rudianto.
Merespons tanggapan tersebut, Plate mengatakan pihaknya dalam posisi dilematis. Apa sebabnya?
Pertama, Menkominfo menjelaskan pemadaman siaran analog tak bisa dilakukan Kominfo dari jauh, tapi mesti dilakukan langsung oleh pemilik stasiun televisi dari kantornya.
“Kalau terkait infrastruktur mux (multiplexer/penyelenggaran siaran digital) sudah tersedia seluruhnya. [ASO] ini masalah bagaimana operator-operator atau TV mematikan ASO-nya dengan dampaknya. Secara teknis untuk melakukan ASO mematikannya hanya bisa dilakukan yang punya TV, bukan Kominfo, karena tidak bisa remote dari jauh,” paparnya.
Kedua, pihaknya bisa saja memberikan sanksi kepada stasiun televisi yang masih analog. Bentuknya, pencabutan Izin Stasiun Radio (ISR). Masalahnya, ini akan berdampak kepada warga.
“Kalau tidak melaksanakan ASO maka ISR dicabut. Kalau dicabut berarti mati sama sekali, berarti rakyat juga tidak dapat layanannya,” ucap Plate.
“Inilah dilema yang kami hadapi; menerapkan UU dan mencabut izin siaran, begitu mati dan setop semuanya, dan ini dua hal yang tentu tidak bisa kami memilih,” aku dia.
(lom/arh)
[Gambas:Video CNN]
Sumber: www.cnnindonesia.com