Jakarta, CNN Indonesia —
Gerhana bulan penumbra yang bakal terjadi Jumat (5/5) malam hingga Sabtu (6/5) dini hari disebut bakal memengaruhi pasang surut air laut. Pakar menjelaskan prosesnya.
Tak cuma terjadi pada saat gerhana bulan, pasang air laut ini juga terdampak pada momen gerhana matahari hibrida, 20 April. Fenomena langit itu berbarengan dengan fase bulan baru. Warga pesisir sempat diminta waspada terhadap potensi banjir rob.
Kini, peringatan yang sama muncul kembali. Salah satu wilayah yang diprediksi terdampak adalah pesisir selatan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, 5-11 Mei.
“Berdasarkan data yang dirilis BMKG Pusat, potensi terjadinya rob ini karena adanya fenomena fase bulan purnama pada tanggal 5 Mei yang berpotensi meningkatkan ketinggian pasang air laut maksimum,” kata analis cuaca BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap Rendi Krisnawan di Cilacap, Jateng, Rabu (3/5) dikutip dari Antara.
Memangnya apa kaitan antara gerhana bulan dan air laut?
Peneliti Bidang Dinamika Laut Dewi Surinati dalam artikelnya ‘Pasang Surut dan Energinya’ di jurnal Oseana mengungkapkan pasang-surut (pasut) air laut merupakan “satu gejala alam yang tampak nyata di laut, yakni suatu gerakan vertikal (naik turunnya air laut secara teratur dan berulang-ulang) dari seluruh partikel massa air laut dari permukaan sampai bagian terdalam dari dasar laut.”
Dewi menulis gerakan tersebut disebabkan oleh pengaruh gravitasi (gaya tarik menarik) antara Bumi dan Bulan, Bumi dan Matahari, atau Bumi dengan Bulan dan Matahari.
Pasang-surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal, yakni dorongan ke arah luar pusat rotasi. Peristiwa itu pun sejalan dengan Hukum Gravitasi Newton.
“Meskipun massa Bulan lebih kecil dari Massa matahari tetapi jarak bulan ke Bumi jauh lebih kecil, sehingga gaya tarik Bulan terhadap Bumi pengaruhnya lebih besar dibanding Matahari terhadap Bumi,” tulis Dewi.
Ada dua jenis pasang-surut air laut, yakni pasang-surut purnama dan perbani. Pertama, pasang-surut purnama (spring tide) terjadi ketika Bumi, Bulan, dan Matahari berada dalam satu garis lurus (Matahari dan Bulan berada dalam keadaan oposisi).
“Pada saat itu, akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah, karena kombinasi gaya tarik dari Matahari dan Bulan bekerja saling menguatkan. Pasang-surut purnama ini terjadi dua kali setiap bulan, yakni pada saat Bulan baru dan Bulan purnama (full moon)” tulis Dewi.
Kedua, pasang-surut perbani (neap tides). Ini terjadi ketika Bumi, Bulan, dan Matahari membentuk sudut tegak lurus, atau saat Bulan membentuk sudut 90° dengan Bumi.
“Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang-surut perbani ini terjadi dua kali, yaitu pada saat bulan 1/4 dan 3/4,” tulis Dewi.
Melansir situs resmi Badan Antariksa AS NASA, hubungan pasang-surut itu ada karena gerhana bulan selalu terjadi saat Bulan di fase purnama.
“Gerhana Bulan hanya bisa terjadi saat bulan purnama, saat Bulan dan Matahari berada di sisi Bumi yang berseberangan. Pada saat itu, Bulan dapat bergerak ke dalam bayangan Bumi, yang mengakibatkan Gerhana Bulan. Namun, selama sebagian besar Bulan Purnama, orbit Bulan yang sedikit miring membuatnya berada di atas atau di bawah bayangan Bumi,” tulis NASA.
“Periode waktu ketika Bulan, Bumi, dan Matahari sejajar dan pada bidang yang sama – memungkinkan Bulan melewati bayangan Bumi – disebut musim gerhana.”
Musim gerhana itu sendiri berlangsung sekitar 34 hari dan terjadi setiap enam bulan sekali. Saat bulan purnama terjadi selama musim gerhana, Bulan bergerak melalui bayangan Bumi, menciptakan Gerhana Bulan.
(lth)
Sumber: www.cnnindonesia.com