Faktor perubahan iklim diduga kuat amat berperan dalam banjir bandang mematikan di Libya. Hal ini terkait dengan parahnya intensitas hujan di daerah Mediterania.
World Weather Attribution (WWA) atau Inisiatif Atribusi Cuaca Dunia, sebuah tim ilmuwan yang menganalisis peran perubahan iklim setelah peristiwa cuaca ekstrem, menemukan polusi pemanasan planet membuat curah hujan mematikan makin mungkin terjadi di Libya.
Peluangnya, kata tim ahli, dikutip dari CNN, hingga 50 kali lebih mungkin terjadi dan 50 persen lebih buruk.
Tim ilmuwan juga menemukan curah hujan ekstrem yang melanda Yunani, Turki, dan Bulgaria 10 kali lebih mungkin terjadi.
Kerusakan akibat curah hujan diperburuk oleh faktor lainnya, termasuk infrastruktur dan bangunan yang tidak memadai di daerah rawan banjir.
Model iklim
Untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap kemungkinan dan intensitas curah hujan lebat ini, para ilmuwan WWA menganalisis data iklim serta model iklim.
Hal ini memungkinkan mereka membandingkan iklim saat ini – sekitar 1,2 derajat Celcius lebih hangat daripada tingkat pra-industri – dengan dunia tanpa perubahan iklim.
Mereka menemukan di Libya perubahan iklim tidak hanya membuat curah hujan ekstrem hingga 50 kali lebih mungkin, tetapi juga membuatnya hingga 50 persen lebih intens.
Peristiwa separah yang dialami negara itu tidak biasa bahkan dalam iklim yang lebih hangat saat ini, laporan itu menemukan, dan dapat diharapkan sekitar sekali dalam setiap 600 tahun.
Kemudian bagi Yunani, Turki dan Bulgaria, perubahan iklim membuat curah hujan hingga 10 kali lebih mungkin dan hingga 40 persen lebih intens.
Jenis curah hujan ekstrem yang dialami wilayah ini kemungkinan akan terjadi sekitar sekali setiap 10 tahun, menurut laporan itu.
Sementara, Yunani tengah, yang merupakan negara yang menanggung dampak paling berat akibat fenomena ini di antara tiga negara di atas, peluangnya hanya sekitar sekali per 80 tahun hingga 250 tahun.
Para ilmuwan WWA mengakui bahwa masih ada ketidakpastian dengan temuan tersebut. Penulis laporan menyebut tidak mungkin untuk secara definitif mengesampingkan kemungkinan krisis iklim tidak berdampak pada banjir.
Namun, mereka menambahkan, ada “beberapa alasan kita dapat yakin bahwa perubahan iklim memang membuat peristiwa lebih mungkin terjadi.”
Penelitian ilmiah telah lama mengaitkan perubahan iklim dengan curah hujan yang lebih intens. Penelitian telah menemukan bahwa untuk setiap 1 derajat Celcius pemanasan, udara dapat menahan sekitar 7 persen lebih banyak kelembaban.
Perubahan iklim dan lebatnya hujan diperparah dengan faktor lainnya seperti yang disebutkan oleh para ahli bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya angka korban banjir adalah penuaan dan kerusakan infrastruktur, peringatan yang tidak memadai, dan krisis iklim.
Itu dibuktikan dengan laporan bahwa masyarakat sebelumnya tidak mendapat peringatan atau tanda-tanda banjir. Warga Derna baru sadar ada bahaya banjir ketika mendengar ledakan hebat dari tanggul yang menahan air.
[Gambas:Video CNN]
(rfi/arh)
Sumber: www.cnnindonesia.com