Ahli Ungkap Efek ‘Buta Ilmu’ Warga Kuno terhadap Fenomena Gerhana

Fenomena gerhana matahari sejak lama hadir dalam kisah dongeng nusantara hingga jadi inspirasi ritual. Simak penuturan pakar astronomi berikut.

Jakarta, CNN Indonesia

Fenomena antariksa gerhana matahari hibrida yang terjadi Kamis (20/4) ini tak luput dari sumber inspirasi dongeng rakyat hingga ritual lawas nusantara.

Beragam folklore yang menyebar di masyarakat itu mulai dari kisah raksasa memakan mangsanya hingga kisah balas dendam Kala Rahu dalam mitologi Bali.

Penceramah Planetarium Jakarta Widya Sawitar mengungkapkan di Tanah Air imajinasi masyarakat Indonesia masih melekat dengan kisah raksasa yang menelan Matahari atau Bulan yang disebabkan rasa dendam kepada Dewa Surya dan Dewa Candra.

Hal itulah yang biasanya menjadi salah satu cerita rakyat yang acap kali dibahas tatkala gerhana matahari maupun bulan berlangsung.

“Di ranah Nusantara di mana salah satunya terdapat kisah raksasa yang menelan Matahari atau Bulan yang disebabkan rasa dendamnya kepada Dewa Surya dan Dewa Candra,” kata Widya dalam keteranganya, Kamis (20/4).

Kala Rahu

Kala Rahu adalah roh jahat atau setan dalam mitologi Bali. Setan ini terbentuk dari sebuah kepala tanpa badan lantaran meminum air Tirta Amertha yang mestinya cuma diperuntukkan bagi dewa-dewi.

Kisah bermula dari tokoh Kala Rahu (atau Rembu Culung, Wuluculung) salah satu raksasa yang membantu Batara Indra untuk mendapatkan Tirta Pawitra (Tirtha Amrta atau air kehidupan).

Siapapun yang meminum Tirta Pawitra tidak akan mati dan memperoleh keabadian. Namun, Kala Rahu berhasil mendapatkan Tirta Pawitra dan mengantarkan air tersebut kepada para dewa.

Widya menjelaskan Kala Rahu dilarang meminumnya. Raksasa ini kemudian menyamar dan mencuri air, tetapi tetap dikenali lalu terbang di atas awan.

Kemudian posisinya diketahui oleh Batara Surya (Matahari, siang hari) dan Batara Candra (Bulan, malam hari) yang selanjutnya menginformasikan ke Batara Wisnu (Penjaga Kebijaksanaan).

Tak lama, Kala Rahu meminum air itu secepatnya karena tahu bahwa ia dikejar oleh Batara Wisnu.

“Sebelum benar-benar menelan air, lehernya berhasil dipotong dengan Cakra (Cakradeksana), senjata ampuh dari Batara Wisnu,” kata Widya.

Kepala Kala Rahu masih hidup karena sempat meminum air kehidupan yang dicurinya. Namun, tubuhnya belum sempat teraliri air dan jatuh ke Bumi kemudian berubah menjadi lesung.

Raksasa Kala Rahu ingin membalas dendam pada Batara Surya dan Batara Candra. Sebagai balas dendam, Kala Rahu terus berusaha mengejar dan memangsa Matahari atau Bulan.

“Tatkala berhasil, maka terjadilah gerhana,” katanya.

Adat kebiasaan

Widya menjelaskan masyarakat lama, termasuk di Bali, ketakutan terhadap fenomena ini lantaran tidak tahu apa yang terjadi.

Merespons hal itu, warga memukul-mukul gong atau lesung, kentongan, pohon kelapa untuk menakut-nakuti Sang Kala Rahu yang tidak bertubuh, yang mengakibatkan munculnya kembali Matahari atau Bulan.

Di samping itu, ada yang bersembunyi di dalam rumah.

“Menutup rapat semua pintu dan jendela rumah, menutup sumur dan tempayan, menyelam di sungai, memukul-mukul pohon kelapa, hingga perempuan hamil yang bersembunyi di bawah tempat tidur,” kata Widya.

Hal ini, kata astronom senior tersebut, merupakan cerminan adanya rasa takut akibat kepercayaan terhadap mitos gerhana. Namun, ada pula yang justru menganggap hal ini sebagai salah satu anugerah yang dapat memperkuat kesejatian dirinya di luasnya Jagad Semesta.

Sebelumnya, para pakar mengungkap pada dasarnya gerhana matahari adalah fenomena alam saat Bumi, Bulan, dan Matahari dalam posisi sejajar. Dari sudut pandang penduduk Bumi, Bulan menghalangi penampakan piringan Matahari dan membuat gelap sesaat.

Momen tahun ini adalah gerhana matahari hibrida, yakni gerhana matahari cincin dan total pada saat bersamaan. Namun, cuma beberapa lokasi di timur RI yang bisa menikmatinya.

(can/arh)








Sumber: www.cnnindonesia.com