Jakarta, CNN Indonesia —
Iduladha 2023 berpotensi jatuh pada hari yang berbeda karena perbedaan kriteria kemunculan hilal penanda awal bulan hijriah. Simak fungsi Sidang Isbat berikut.
Perbedaan tanggal Iduladha itu bisa terlihat jelas dari analisis para ahli astronomi dan penetapan tanggal yang dilakukan oleh Muhammadiyah jauh-jauh hari.
Pemerintah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memakai kriteria imkan rukyat atau penampakan hilal atau bulan sabit tipis yang merupakan penanda bulan baru.
Patokannya adalah kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, yang disebut kriteria MABIMS, dalam menentukan awal bulan hijriah.
Syarat bulan baru dalam kriteria ini adalah ketinggian hilal 3º dan elongasi atau sudut Bulan-Matahari 6,4º.
Sementara, Muhammadiyah menganut wujudul hilal yang berarti cukup berdasarkan perhitungan rumus astronomi tertentu untuk memprediksi kemunculan bulan baru.
Versi Pemerintah
Berdasarkan kriteria MABIMS, Iduladha diperkirakan jatuh pada 29 Juni 2023. Hal itu diperoleh dari hasil prediksi peredaran Bulan.
“Baik dengan kriteria MABIMS maupun kriteria Odeh(pakar astronomi) menunjukkan bahwa pada 18 Juni 2023, hilal tidak mungkin terlihat di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara secara umum,” tulis Pakar Astronomi Thomas Djamaluddin yang juga bagian dari tim hisab rukyat Kemenag, dalam blognya.
“Jadi 1 Dzulhijjah 1444 berdasarkan hisab imkan rukyat MABIMS pada 20 Juni 2023 dan Idul Adha pada 29 Juni 2022,” tulis Thomas.
Apa yang membuat hilal terlihat? Dalam MABIMS, beberapa kriteria utama dipakai untuk menentukan hilal bisa terlihat atau tidak.
Pertama, ketinggian hilal. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan tinggi hilal merupakan besar sudut yang dinyatakan dari posisi proyeksi Bulan di Horizon-teramati hingga ke posisi pusat piringan Bulan berada.
Tinggi Hilal positif berarti Hilal berada di atas horizon pada saat Matahari terbenam. Adapun tinggi Hilal negatif berarti Hilal berada di bawah horizon pada saat Matahari terbenam.
Berdasarkan hitungan BMKG, ketinggian hilal di Indonesia saat Matahari terbenam pada 18 Juni 2023 berkisar antara -0,11° di Merauke, Papua sampai dengan 2,39° di Sabang, Aceh.
Senada, menurut perhitungan Thomas, ketinggian hilal di Aceh pada saat magrib 18 Juni (29 Zulkaidah) hanya 2,1º.
“Tinggi tersebut terlalu rendah sehingga hilal yang sangat tipis tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) yang masih cukup kuat,” tuturnya.
Kedua, Elongasi, yang merupakan jarak sudut antara pusat piringan Bulan dan pusat piringan Matahari yang diamati oleh pengamat di permukaan Bumi.
Menurut BMKG, elongasi saat Matahari terbenam di 18 Juni 2023 berkisar antara 4,40 ° di Jayapura, Papua sampai dengan 4,94° di Sabang, Aceh.
Ketiga, Umur Bulan. BMKG menuturkan umur bulan di sini berarti ialah selisih waktu terbenam Matahari dengan waktu terjadinya konjungsi.
Astronom Senior Planetarium Jakarta Widya Sawitar menyebut, hilal atau bulan baru atau Anak Bulan itu baru bisa diobservasi di usia 8 jam 22 menit 3 detik.
Sementara, umur Bulan di Indonesia saat Matahari terbenam pada 18 Juni 2023 berkisar antara 3,86 jam di Merauke, Papua sampai dengan 7,28 jam di Sabang, Aceh.
Walhasil, Thomas menyebut secara astronomis tidak mungkin ada kesaksian hilal pada 18 Juni.
“Sehingga bulan Dzulqa’dah digenapkan 30 hari dan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari berikutnya, yaitu 20 Juni. Dengan demikian Idul Adha diperkirakan pada 29 Juni.”
Namun demikian, Thomas menyebut “kepastian tanggal Iduladha masih perlu menunggu Sidang Isbat.”
Soal Muhammadiyah dan Sidang Isbat di halaman berikutnya…
Iduladha Versi Muhammadiyah
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: www.cnnindonesia.com