Ahli Blak-blakan Soal Bumi Sedang Sakit

Pakar dari China mengklaim inti dalam Bumi berhenti berotasi. Apakah benar klaim berbasis penelitian jejak gempa ini?
Jakarta, CNN Indonesia

Sejumlah ahli mengungkap Bumi tak memenuhi enam dari sembilan standar kesehatan planet, di antaranya akibat pemanasan global dan polusi udara.

Hal itu terungkap dalam studi bertajuk ‘Earth beyond six of nine planetary boundaries’ yang terbit di jurnal Science Advances pada Rabu (13/9).

Penelitian ini dilakukan secara lintas keilmuan oleh 26 peneliti berbagai negara.




Sembilan standar kesehatan Bumi. Enam di antaranya sudah melewati ambang batas. (dok Katherine Richardson dkk di jurnal science advance)

Di antaranya, Katherine Richardson dari Globe Institute, Faculty of Health, University of Copenhagen, Copenhagen, Denmark; Will Steffen dari Australian National University, dan Wolfgang Lucht dan Johan Rockström dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK).

“Kita berada dalam kondisi yang sangat buruk,” ungkap Johan Rockstrom, salah satu penulis studi, dikutip dari AP. “Kami menunjukkan dalam analisis ini bahwa planet ini kehilangan daya pulihnya dan sedang sakit.”

Studi tersebut memakai sembilan variabel pengukuran yang menentukan kesehatan Bumi.

Hasilnya, dalam studi itu para ilmuwan mengatakan Bumi sudah melampaui ambang batas dalam variabel iklim, keanekaragaman hayati, tanah, air tawar, polusi nutrisi, dan bahan kimia baru (senyawa buatan manusia seperti mikroplastik dan limbah nuklir).

Pada tiga standar lainnya, yakni tingkat keasaman lautan (ocean acidification), pemuatan aerosol di atmosfer (atmospheric aerosol loading), dan penipisan lapisan ozon, Bumi masih dianggap sehat.

Pada 2009, Rockstrom dan peneliti lainnya membuat sembilan batas dan menggunakan pengukuran ilmiah untuk menilai kesehatan Bumi secara keseluruhan.

Makalah ini merupakan pembaruan dari tahun 2015 dan menambahkan faktor keenam ke dalam kategori tidak aman.

Dalam studi baru ini air berubah dari kategori nyaris aman menjadi kategori di luar batas aman karena limpasan air sungai yang memburuk dan pengukuran serta pemahaman yang lebih baik mengenai masalah ini.

Rockstrom menyebut batas-batas ini menentukan nasib planet Bumi karena sembilan faktor tersebut telah “ditetapkan secara ilmiah” oleh berbagai penelitian.

Jika Bumi dapat mengelola kesembilan faktor ini, Bumi bisa relatif aman. Sayangnya, realitasnya tidak seperti itu.

Polusi udara

Dalam variabel Perubahan Iklim, peneliti memakai batasan 350 bagian per juta (ppm) karbon dioksida (CO2) di udara sebagai ambang batas, bukan 1,5 derajat pemanasan yang ditetapkan dalam perjanjian iklim Paris sejak masa pra-industri dalam perhitungan tingkat kesehatan udara.

Sementara, zona peningkatan risiko berkisar antara 350 hingga 450 ppm. Hal ini kira-kira setara kenaikan suhu permukaan rata-rata global 1 derajat hingga 2 derajat Celsius.

Hasil hitungan peneliti, CO2 di udara mencapai puncaknya di angka 424 ppm, sangat jauh di atas ambang batas amannya.

Para peneliti juga mengatakan sembilan faktor tersebut saling terkait.

Pasalnya, ketika tim menggunakan simulasi komputer, mereka menemukan bahwa memperburuk satu faktor, seperti iklim atau keanekaragaman hayati, akan memperburuk masalah lingkungan Bumi lainnya. Di sisi lain, memperbaiki satu faktor akan membantu faktor lainnya.

Rockstrom mengatakan ini seperti simulasi uji stres untuk planet ini.

Simulasi tersebut menunjukkan salah satu cara paling ampuh yang dimiliki manusia untuk memerangi perubahan iklim adalah dengan membersihkan lahan dan menyelamatkan hutan.

Mengembalikan hutan ke tingkat yang sama seperti pada akhir abad ke-20 akan menjadi penyerap alami yang substansial untuk menyimpan karbon dioksida, sehingga karbon dioksida tidak berada di udara dan berujung memerangkap panas.

Salah satu variabel, yaitu keanekaragaman hayati berada dalam kondisi yang paling mengkhawatirkan dan tidak mendapatkan perhatian sebanyak isu-isu lain, seperti perubahan iklim.

“Keanekaragaman hayati sangat penting untuk menjaga siklus karbon dan siklus air. Masalah terbesar yang kita hadapi saat ini adalah krisis iklim dan krisis keanekaragaman hayati,” kata Rockstrom.

Ada harapan

Profesor teknik lingkungan Carnegie Mellon, Granger Morgan, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengakui ada masalah pada Bumi ini terlepas beda pandangan soal variabel batasan itu.

“Para ahli tidak sepakat mengenai batasannya, atau seberapa besar interaksi berbagai sistem di planet ini, namun kita sudah semakin dekat.”

Dekan studi lingkungan Universitas Michigan, Jonathan Overpeck, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mendukung hasil penelitian tersebut sambil menyatakan “sangat meresahkan implikasinya terhadap planet ini dan manusia harus khawatir.”

“Analisisnya seimbang karena jelas membunyikan alarm merah, tapi tidak terlalu mengkhawatirkan,” kata Overpeck. “Yang penting, masih ada harapan.”

Profesor kimia dan lingkungan Carnegie Mellon, Neil Donahue, menyoroti soal perbaikan lapisan ozon. Baginya, ini jadi contoh keadaan dapat diperbaiki ketika dunia dan para pemimpinnya memutuskan untuk mengakui dan mengambil tindakan.

“Sebagian besar ada hal-hal yang kita tahu bagaimana cara melakukannya” untuk memperbaiki keadaan.

 

(lom/arh)




Sumber: www.cnnindonesia.com