Jakarta, CNN Indonesia —
Membangun infrastruktur tak cuma urusan beton dan kabel. Memberdayakan manusia, termasuk kaum difabel, jadi kebutuhan. Bukan untuk diprioritaskan, tapi kesempatan untuk jadi berguna adalah milik semua.
Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya?
— Sajak Seonggok Jagung, W.S Rendra.
Pulang ke kampung halamannya, Makassar, Sulawesi Selatan, seusai rampung sekolah di Inggris, Pratiwi Hamdhana (30) langsung terpikirkan untuk berkontribusi bagi daerah, terutama kalangan disabiltas.
Mendapatkan beasiswa Chevening, Pratiwi berangkat kuliah magister di Inggris pada 2017 di University of Warwick bidang Innovation and Enterpreneurship. Di sana, ia akrab dengan istilah social enterprise dan melihat bagaimana para disabilitas diberikan haknya.
“Setelah riset-riset, saya pengin membuat itu. Di sana, para disabilitas diberikan haknya. Mereka mengimplementasikan di setiap tempat kerja, mereka merekrut disabilitas. Ini hal yang saya jarang atau bahkan tidak pernah melihat di Indonesia atau bahkan di Makassar,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Ketika pulang ke Makassar, Pratiwi menemukan fakta mengejutkan. “Ternyata Sulawesi Selatan itu adalah satu dari tiga provinsi dengan jumlah penyandang disabilitas terbesar,” katanya.
Data tiga provinsi dengan penyandang disabilitas terbanyak di Indonesia (Foto: tangkapan layar BPS)
|
Usai membaca data yang mencengangkan itu, Pratiwi memiliki ide untuk memberdayakan para disabilitas sembari membuka bisnis yang tak sekadar kegiatan sosial.
Dari sanalah, ia lalu membangun usaha Tenoon, yang bergerak di bidang suvenir berbahan dasar kain tenun khas Indonesia timur. Dalam membangun bisnisnya, Pratiwi mengajak para disabilitas untuk menjadi penjahit dan partner.
“Bisnis modelnya, kita mengambil kain tenun dari partner-partner yang ada di beberapa desa di Indonesia timur dan satu di Jawa. Lalu kami mengolah kain itu menjadi merchandise di mana sebagian besar tim kami dan partner adalah disabilitas,” katanya.
“Kami memang membuat produk dari kain tenun karena selama ini yang terkenal kain batik. Jadi akhirnya saya coba eksplorasi dan kawinkan dengan pemberdayaan disabilitas,” Pratiwi menambahkan.
![]()
|
Saat ini, Pratiwi dan rekan-rekannya di Tenoon mempekerjakan empat orang disabilitas yang terdiri dari tiga perempuan dan satu laki-laki. “Dua orang disabilitas daksa, dan dua orang disabilitas tuli,” katanya.
Di samping empat orang itu, Pratiwi juga kerap mengajak para disabilitas menjadi partner. Itu ia lakukan jika mendapat pesanan dalam jumlah besar yang tidak bisa dikerjakan oleh tim. “Kebanyakan sih teman-teman tuli sebagai partner kerja kita,” ujarnya.
Meski memiliki pekerja disabilitas,Pratiwi tak kompromi soal kualitas produknya. Sebaliknya, Pratiwi tak ingin para konsumen membeli produknya hanya karena kasihan terhadap para pekerjanya.
“Kita bahkan di satu-dua tahun pertama tidak membuka bahwa penjahit kita disabilitas. Hanya ada beberapa orang memberi masukan untuk diceritakan tapi jangan menyorot kisah sedihnya. Karena mereka disabilitas tapi juga bisa bikin produk dengan kualitas bagus,” ujar Pratiwi.
Pratiwi memasarkan produk Tenoon mulai dari harga Rp95 ribu. Ia juga menegaskan Tenoon datang dengan kemasan yang eksklusif. “Produk kita tergolong premium ya. Ada packaging-nya. Ada box, ada notes-nya dan lain-lain,” kata Pratiwi yang mengaku omzet Tenoon bisa mencapai Rp500-700 juta per tahun.
![]()
|
Berpengalaman mempekerjakan para disabilitas, Pratiwi merasa kesempatan mereka untuk bekerja seperti para non-disabilitas semakin terbuka. Hal itu ia lihat ketika membuat pelatihan digital seperti media sosial, sunting video dan foto.
“Kemarin ada satu peserta tunanetra. Dia tidak 100 persen tunanetra tapi low vision hanya karya desain grafisnya bagus. Terakhir update, dia jadi semacam content creator untuk salah satu agensi yang ada di Makassar,” kata Pratiwi yang sempat menjadi salah satu pembicara di program Indonesia Makin Cakap Digital wilayah Pare Pare, Sulawesi Selatan, 6 Agustus lalu.
“Kita sempat pamerkan karyanya dan tidak ngomong kalau ini karya disabilitas, tapi hasilnya seperti dari karya non-disabilitas. Ada satu juga peserta tuli jadi admin social media,” ujarnya.
Dari Kudus ke Amerika di halaman selanjutnya…
Dari Kudus ke Amerika
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: www.cnnindonesia.com